Aku masih duduk didepan teras menikmati suasana guyuran
hujan sejak pagi tadi. Bahkan hujan mengizinkan senja muncul hari ini, untuk
sekedar menjemput mentari kembali keperaduannya. Aku masih terdiam di sini
sejak beberapa menit lalu, tiba-tiba telingaku menangkap suara isak tangis yang
menyelingi suara rintikan hujan. Aku
segera berdiri menelusuri suara tangisan itu, semakin dekat aku menelusuri
semakin jelas suara isakan itu dan ternyata isakan kecil itu milik seseorang
yang aku kenal. Cowok tampan dan manis, tinggi dengan rambut ikal yang
membingkai diwajahnya, begitu kata orang tentangnya. Tapi kenyataannya aku
tidak tau, yaa.. karena aku memang sama sekali belum pernah melihatnya.
Aku Sheilla, aku seorang perempuan yang -katanya- dibuang oleh orang tuaku karena aku
cacat fisik. Aku buta sejak lahir dan karena itu juga aku tinggal di panti ini,
panti yang menampung orang-orang cacat dan penyakitan seperti aku. Sudahlah tak perlu berpanjang lebar membahas
tentang hal yang menyakitkan untukku, yang jelas aku merasa ada kehidupan yang
layak disini dan aku nyaman.
Aku berjalan menghampiri dan memayunginya dengan payung
merah mudaku. “Ngapain kamu disini sendirian, Ren? Ini hujan loh!” tanyaku pada
laki-laki yang ku sapa Rendy itu. “Kamu yang ngapain disini? Aku gak butuh
perhatian dari kamu! Pergi…!!!” ia
membentakku, sambil menepis payungku. Air hujan pun mulai menyapa kulitku. “Ren,
ayo kita masuk, kamu kan lagi sakit.” ajakku dengan sedikit paksaan sambil
menarik tangan Rendy. “Aaarrgghh,, LEPAS!! Gue bilang gak usah peduliin gue!
Gue gak sakit, gue gak cacat. Gue baik-baik aja, jangan lo fikir gue sama kaya
lo dan teman-teman lo yang cacat dan penyakitan itu yah?! Pergi sana dari hadapan
gue!!!” bentak Rendy kasar.
Sakit. Ya, tentu aku marah dan aku sedih dengan ucapan Rendy
tadi. Tapi dia sahabatku, mana mungkin aku tega
membiarkan Rendy kehujanan sendirian disini, apalagi ia baru sembuh dari
sakitnya. “Kalau kamu nggak mau masuk, aku juga bakal tetep disini nemenin kamu!”
ancamku. “Udah deh, PERGI SANA!!” Rendy
mendorongku keras
“Sheilaaa….” teriak seorang laki-laki
menghampiriku. “Shei, kamu gak apa-apa?” ucap seorang perempuan sambil
membantuku untuk berdiri. Tidak salah lagi, mereka adalah sahabatku juga, Riyan
dan Tiara. Riyan adalah penderita penyakit kerusakan hati kronis, sedangkan Tiara
menderita penyakit gagal ginjal. Sudah kubilang, panti ini memang dibangun
khusus untuk anak-anak seperti kami. Disini kami merasa lebih nyaman, kami
merasa sama dan senasib, disini kami belajar saling melengkapi, belajar saling
peduli dan saling berbagi.
Tapi Rendy… Dia berbeda dengan
kami, dia tidak cacat, apalagi penyakitan.
6 tahun lalu, ibu panti membawa seorang anak laki-laki berusia sekitar 5 tahun
kesini. Ibu panti bilang ia menemukan anak itu di terminal. Anak itu menangis
mencari ibunya, mungkin Rendy terpisah dari orang tuanya, atau mungkin sengaja
di tinggal. Ahh entahlah, itu tidak penting untuk kami. Saat itu kami hanya berfikir akan mempunyai
teman baru lagi dan aku bahagia dengan kehadirannya. Saat ia sedih merindukan
orang tuanya, ia selalu bilang “Orang tuaku pasti akan menjemputku disini.
Pasti.” itulah kalimat andalan Rendy.
Sejak awal kehadirannya, dia selalu
menolak saat kami ajak bermain. Dia tidak ingin berbaur dengan kami, ia sibuk
dengan dunianya sendiri, selalu menyendiri. Tetapi seiring berjalannya waktu,
Rendy mulai beradaptasi dengan kehadiran kami dikehidupan barunya disini. Rendy
anak yang baik hati, pintar dan lucu. Kami pun mulai terbiasa membaurkan diri
kami dengannya dan Rendy mulai menerima kami sebagai keluarga barunya, ia anak
yang ramah dan penyayang bagiku.
Hari demi hari telah terlewati. Aku,
Tiara, Riyan dan Rendy sering bermain dan belajar bersama. Rendy mengajari
banyak hal pada kami, termasuk semangat
hidup untuk sembuh. Rendy selalu mengajari Riyan bermain gitar dan menemaninya
bermain sepak bola, bahkan Rendy juga mau menemani Tiara yang hobi karaoke-an.
Rendy juga selalu menceritakan hal-hal yang tidak bisa aku lihat, seperti
keindahan saat mentari terbenam, bunga yang bermekaran, rinai hujan yang
mengguyur bumi, juga tentang sosok Riyan dan Tiara. Rendy bilang Riyan itu
tampan, tinggi, kulitnya putih. Sedangkan Tiara, cantik, kulitnya putih dan
berambut lurus panjang sebahu. Dan Rendy juga bilang kalau aku itu manis,
dengan dagu yang agak terbelah dan rambut hitam bergelombang yang membingkai
wajahku.
Tapi entah mengapa beberapa bulan ini
sikap Rendy berubah total, ia kembali menjadi Rendy yang pertama kita kenal.
Rendy sering menyendiri dan tidak ada yang boleh satu orang pun masuk
kehidupannya lagi. Kini, Rendy cengderung menjadi sosok yang mudah marah, kasar
dan menyebalkan. “Ren, lo apa-apaan sih? Gak usah kasar gini dong. Sheila itu
perempuan!” gentak Riyan membelaku.
“Haha, lo? Gak usah ikut campur. Ngerti?!!” kata Rendy dengan nada
keras. “Tapi Ren…..” kata Tiara terpotong “Tapi apa??? Lo juga! Gak usah ikut
campur sama kehidupan gue!” Rendy kembali membentak. “Kamu berubah, Ren! Kamu bukan lagi Rendy,
yang kami kenal ramah. Kami sahabatmu, Ren. Kamu lupa?!” Mataku mulai
berkaca-kaca. “Hah? Apa lo bilang? Gue sahabat kalian? HAHA jangan berkhayal. Gue
gak butuh sahabat cacat dan penyakitan seperti kalian!” volume suara Rendy
mulai membesar.
Tiba-tiba *Paakkkkkk…… terdengar suara
tamparan. “Tiara? Udah berani nampar gue? HAHA hebat. Mau nambah lagi? Tampar
gue lagi, tampar sekarang. Dan lo Sheila, mau nampar gue? Ayoo silakan dengan
senang hati. Riyan, gimana dengan lo? Lo juga mau nampar gue? Atau lo mau pukul
gue sama babak belur? Gak apa-apa, ayo pukul sekarang silakan.” Rendy
berceloteh panjang lebar menawari diri untuk menampar dan memukulinya. Tapi
sekali lagi, kami sahabatnya. Kami tidak mungkin tega menyakiti diri sahabat
kami. Kami terdiam membisu. “Kenapa diam aja? Ayo tampar gue, pukul gue! Tadi
Tiara berani tuh.” Emosi Rendy meningkat. “Mana mungkin kami menyakiti sahabat
sendiri.” kataku mulai meneteskan air mata. “Halah, Omong kosong! Pergi sana…
Gue gak mau lihat muka kalian!” Rendy mengusir kami. “Kami merindukanmu, Ren.
Bagaimanapun sikap kamu terhadap kami, kamu akan tetap menjadi seorang sahabat
yang kami cintai.” kataku. Rendy terdiam dan kami segera meninggalkan Rendy
sendiri.
***
Sore itu selepas hujan. Kami bertiga, aku,
Riyan dan Tiara, berencana untuk berkumpul di danau Pelangi. Danau ini, Rendy
lah yang menemukannya. Sudah lama Rendy tak mengunjungi Danau Pelangi karena akhir-akhir
ini Rendy lebih sering mengunci diri di kamarnya.
Kami menyusuri danau ini, kami dikelilingi
daun berwarna hijau cerah, di hiasi butiran-butiran bening sisa air hujan tadi
pagi. Air danau nya pun bergerak perlahan membiaskan langit yang kala itu di
hiasi pelangi. Saat malam danau ini akan menghamparkan ribuan bintang dan
cahaya bulan. Tiba-tiba Riyan menghentikan langkahku dan Tiara. “Hey…. Lihat!
Pelangi itu muncul.” Kata Riyan menunjuk langit yang dihiasi pelangi itu. “Ohyaa?
Masa sih?” kataku. “Iya , Shei. Lengkungan warna-warninya udah sempurna.” Jawab
Tiara dengan semangat. “Andai ada Rendy disini, pasti dia akan menceritakan
warna-warni tentang pelangi itu” harapku dalam hati. “Aku kangen Rendy”
gumamku. “Kita juga sama, Shei. Kita kangen Rendy” kata Riyan dan Tiara
memelukku.
Setelah itu, kami terdiam. Tak beberapa
menit kemudian pelangi itu pun hilang, kami beranjak pulang, tapi kemudian
derap kami terhenti. “Kenapa berhenti?” tanyaku heran. Ternyata Riyan dan Tiara
melihat Rendy melangkah perlahan ke arah sebuah pohon yang tidak terlalu besar.
Ia menggali lubang disana dan menguburkan sesuatu, sejenak Rendy terdiam lalu
air matanya mulai menetes perlahan dan jatuh sampai ke bumi. “Rendy Ngapain yah
disitu, kenapa dia nangis?” Tiara bertanya-tanya. “Apa? Ada Rendy disini? Dia
nangis? Aku mau samperin dia.” Kataku sambil melangkahkan kaki menuju pohon
itu. “Shei, Jangan Shei. Udahlah jangan kamu pikirin dia lagi, dia bilang
sendiri kalau dia nggak butuh kita” cegah Riyan menarik tanganku. “Tapi dia
sahabat kita, Yan!” kataku. “Itu dulu, Shei.” sergah Riyan. “Apa kamu bilang,
yan? Dulu? Sekaran juga! Dan SELAMANYA!!” aku melepaskan genggaman tangan Riyan
di pergelangan tanganku dan aku langsung pergi menjauh.
***
3 Minggu berlalu. Suara Guntur dan
angin menghiasi malam ini. Kami membisu, menatap sosok lemah itu dari balik
kaca jendela. Ia terlihat begitu letih, guratan kesakitan hampir menghilangkan
ketampanannya. Rambutnya menipis, kulitnya memucat, bibirnya pun putih, dan
tangan yang dulu selalu diulurkan untuk membantu teman-temannya, kini lemah tak
berdaya. Air mata kami tentu tak dapat dihitung, sudah berapa banyak yang
tertumpah.
“Rendy selalu bilang kepada ibu, kalau kalian
segalanya untuknya, maafkan sikap Rendy selama ini pada kalian, maksud sikap
Rendy terhadap kalian kemarin supaya kalian membenci dan menjauhinya. Itulah
sebabnya kenapa Rendy berubah mendadak kasar dan seakan menjauhi kalian. Dia
hanya tidak ingin kalian merasa sedih saat dia pergi nanti.” Jelas ibu panti
kepada kami. “Ibu jangan bilang begitu, Rendy pasti sembuh. Kita selalu
mendoakannya.” Ucapku getir.
Semua hanyut dalam kesedihan dan doa.
Doa untuk sahabat terbaik kami selalu mengalir deras dari mulut kami. Aku takut, entah mengapa aku merasa Rendy akan segera
pergi meninggalkan kami, tapi segera ku tepis perasaan itu. Bagaimana jadinya
kami tanpa dia, bukankah dia yang selama ini menyemangati kami, yang ikut merasakan
kesakitan penyakit Riyan, yang ikut menangis melihat Tiara cuci darah, yang
menjadi tongkat dan petunjuk arahku. Tentu tuhan tidak akan sejahat itu,
mengambilnya dari kami. Bersamaan dengan doa yang terus mengalir untuk Rendy yang
sedang berjuang di dalam sana, memori tentang Rendy pun berputar dalam pikiran
kami masing –masing.
>>
FLASH BACK>>
Siang itu kami berempat berkumpul di
danau pelangi untuk bermain bersama. Walaupun hujan mengguyur tubuh kami, kami
tetap asyik dengan canda dan tawa yang kami ciptakan. Kami bernyanyi dan
menari-nari dibawah siraman air hujan. Rendy, Riyan dan Tiara kompak
mencipratkan air hujan ke tubuhku dan aku membalasnya. Kami merasakan
kebahagiaan saat itu.
Sudah
cukup lama kami bermain dibawah jutaan titik-titik air langit. Kami menatap
langit yang sudah mulai cerah, awan-awan hitam pun pudar dan matahari sudah
terlihat. Kedatangannya menghangatkan tubuh kami.
“Heeyyy…. Coba lihat diatas sana,
pelangi mulai muncul.” Riyan menunjuk kearah lukisan tuhan yang indah itu. “Indahnya…Pengen
deh, persahabatan kita kaya warna-warni pelangi, selalu lengkap. Tapi sayangnya
gak mungkin, suatu hari nanti salah satu diantara kita pastiii…” kata Tiara
terpotong. “Riyan pasti dapet pendonor hati, Tiara pasti dapat ginjal yang
cocok dan Sheila pasti dapat pendonor mata dan bisa melihat lagi. Percaya deh,
suatu saat kalian akan sembuh dan menatap pelangi itu sambil tersenyum” Rendy
memotong pembicaraan Tiara sebelumnya, ia tidak mau membicarakan kematian atau
perpisahan. “Iya, aku jadi gak sabar pengen bisa liat pelangi bareng kalian,
sahabatku” ucapku sambil memeluk Tiara, Rendy dan Riyan.
>>FLASH
BACK OFF>>
Kami berlari kecil di koridor rumah
sakit. Tiara terus menggandeng tanganku. Senyum manis merekah di sudut bibir
kami, mendengar kabar bahwa Rendy sudah sadarkan diri. Kami masuk ruangan
dimana Rendy dirawat, segera kami menghampiri Rendy. “Ren…” sapa Riyan. “Haii,
kalian?” Rendy tersenyum, kami menatapnya sedih. “Pada kenapa sih, gak usah di
dramatisir gitu deh, Aku sadar bukan buat lihat kalian sedih, apalagi nangis
begitu” kata Rendy. “Kamu harus janji, Ren sama kita!” pinta Riyan. “Janji
apa?” tanya Rendy. “Janji gak bakal ninggalin kita” lanjut Riyan. “Iya, kamu
juga harus cepet sembuh Ren, kamu kan udah janji mau nemenin aku liat pelangi.
Sebentar lagi aku bakal bisa lihat loh, Ren” pintaku pada Rendy. “Iya, kita
semua dapat pendonor Ren, kita bakal sembuh, kaya yang kamu bilang dulu.
Makanya kamu juga harus perjuangin untuk kesembuhanmu.” Tiara tersenyum. “Aku
pengen jalan-jalan ke danau pelangi, kalian mau kan anterin aku? Gak akan lama
kok, sebentar aja.” pinta Rendy. Melihat keadaannya yang stabil, kami pun
akhirnya setuju. “Ya udah, tapi sebentar aja yah, lo kan harus banyak istirahat”
kata Riyan, Rendy pun mengangguk setuju. “Aku izin ke dokter dulu yah” usul
Tiara. “Okee!!” kami serentak dan tersenyum.
Kami pun mulai menyusuri jalan berumput
menuju danau pelangi, dan “Shei, kamu yang dorong kursi rodaku yah?” pinta
Rendy. Yaps, Rendy meminta aku yang buta ini untuk mendorong kursi rodanya, aku
pun menyetujuinya. Dia selalu mengarahkanku, menuntunku ke jalan yang tepat.
Aku semakin sadar akan sangat sulit berpisah darinya, dia adalah titik cerah
yang Tuhan kirimkan untuk sosok dalam kegelapan seperti aku.
Sesaat kami sampai di danau pelangi,
kami disapa oleh bau tanah yang semerbak dan tetesan air yang bergelantung di
ranting-ranting pepohonan. Tapi air danaunya berubah, tidak lagi tenang seperti
biasanya, kini air danaunya beriak seakan sedang gelisah. “Eh eh, pelanginya
udah muncul tuh” teriak Tiara. “Selalu indah” gumam Rendy sambil tersenyum. Kami
semua menatap lengkungan barisan warna itu, aku pun seakan menemukan lengkungan
berwarna itu dalam kegelapan. Memang di lihat berapa kali pun tak akan
mengurangi keindahannya.
“Aku mau jadi warna merah, kuat dan
berani, supaya bisa jagain kalian” kata Riyan tiba-tiba. “Kalo aku mau jadi
warna kuning, ceria dan periang, supaya aku bisa bikin hari kalian selalu cerah.”
lanjutku. “Aku mau jadi warna hijaunya,
tenang dan lembut, biar aku bisa bawain kalian kesejukan” tambah Tiara. “Kalau
kamu, Ren?” tanyaku. “Kalau aku mau jadi sejuta rinai hujan” ucap Rendy, kami
semua menoleh ke arahnya. “Kenapa hujan ren? Kenapa gak jadi langitnya, langit
tempat pelangi bergantung” saranku.
“Suatu saat kita pasti akan berpisah,
dan aku bakal jadi orang pertama yang mempersatukan kita. Kalian tau kan
pelangi gak akan muncul tanpa seruan hujan, karena itu aku pengen jadi hujan,
hujan yang akan memanggil kalian. Itu
artinya akulah yang selalu mengantarkan kebahagiaan pelangi untuk kalian,
kapanpun dan dimanapun kalian berada.” Jelas Rendy panjang lebar.
Aku menangkap kata-kata itu sebagai
ucapan perpisahan. Aku berfikir bahwa Rendy sadar bukan untuk sembuh, tapi
hanya untuk mengizinkan kami melihat senyumnya untuk yang terakhir kali. “Kita
pulang yuk Ren.” ajakku. “Sebentar lagi Shei, nunggu pelanginya hilang dulu”
Rendy menolak. Kami melanjutkan untuk menatap pelangi itu, pelangi terakhir
yang bisa kami nikmati bersama sosok Rendy, karena setelah itu bersamaan dengan
pelangi yang lenyap, mata Rendy pun perlahan merapat, tapi kedua sudut bibirnya
tetap membentuk lengkungan manis. “Rendy? Rendy… bangun Ren…” kata Tiara
terisak. “Rendy kenapa, Ra? Riyan, ada apa dengan Rendy??“ aku panik. “Kamu dan
pelangi pergi bersamaan, Ren.” lirih Riyan.
Kita sama-sama tau bahwa jiwa Rendy
telah meninggalkan raganya. Aku menggenggam tangan Rendy sangat dingin. Saat menuju rumah sakit, aku kembali
mendorong kursi roda yang dinaiki Rendy. Tapi kini tentu berbeda, karena raga
yang duduk di atasnya tak lagi menunjukkan arah yang harus ku tempuh. Kami
semua menangis merasakan gejolak kesedihan dalam relung hati.
***
Hari itu cuaca cerah, burung pun
beterbangan di angkasa dan kicauannya terdengar merdu saat itu. Sudah beberapa
menit berlalu. Kami masih berdiri
disini, di bawah sebuah pohon yang tidak terlalu besar, di tepi danau pelangi.
“Sekarang, Yan!” kata Tiara. Riyan pun mulai menggali tanah itu, tak berapa
lama sebuah kotak muncul di dasar lubang yang tidak terlalu dalam. Riyan
mengambil kotak itu dan membersihkannya dari beberapa bulir tanah. Kami bertiga
sepakat untuk segera membukanya, membuka kotak yang Rendy kubur waktu itu. Saat
kami membukanya, kami dapati 5 buah benda disana. Lukisan kecil bergambarkan
gitar dari Riyan, syal biru tua dari Tiara, gantungan kunci berbentuk gitar
dariku dan selembar foto kami berempat sedang tertawa lepas menatap kamera.
“Ternyata memang manis. Manis sekali” batinku.
Yaa, inilah kali pertama aku melihat
wajah Rendy. Sekarang kami bertiga telah sembuh, pendonor itu telah memberikan
separuh dari dirinya untuk menjadi setitik kehidupan untuk kami.. Aku sudah
dapat mata, Riyan sudah dapat hati dan Tiara sudah dapat ginjalnya. Kami
benar–benar sudah sembuh, tapi tetap saja kehidupan kami belum lengkap tanpa
Rendy disisi kami. Terakhir sepucuk surat yang di taruh di dasar kotak. Riyan
mulai membuka dan membacanya. Aku dan Tiara mendengarkannya.
Aku Rendy Nugraha , Aku bukan laki-laki hebat, aku juga bukan
laki-laki kuat, aku hanya seorang laki-laki yang baru nemuin kehidupan aku
disini, aku baru ngerasain gimana rasanya disayangi, gimana diperhatiin dan aku
ngerasain indahnya berbagi. Dari kecil aku sendirian, aku dibuang oleh orang
tuaku. Tapi aku bersyukur karena dengan begitu akhirnya Ibu panti mempertemukan
aku dengan mereka. Yaps! Sheila, Tiara dan Riyan.
Mereka sahabatku, semangatku, hidupku. Aku rela ngasih apapun
yang aku punya buat mereka. Saat aku tau mereka bakal cepet ninggalin aku, Aku
takut, Aku sedih, Aku berdoa agar aku yang duluan di panggil Tuhan, supaya aku gak
perlu ngerasain sedihnya kehilangan mereka. Dan Tuhan mengabulkan doaku, kanker
otak stadium akhir, penyakit yang aku fikir ini anugerah, tapi kemudian aku sadar,
gimana dengan mereka kalau aku pergi lebih dulu dari mereka, siapa yang akan
mejaga mereka?
Berpura-pura semuanya baik-baik saja, tentu bukan hal yang mudah
bagiku, jadi aku memilih untuk mejauh dari mereka. Aku gak mau semangat
mereka buat sembuh hilang saat mereka tau keadaanku yang sebenarnya seperti
ini. Aku nyesel akan doa yang aku pinta pada Tuhan, Aku gak yakin sanggup biarin mereka sedih, aku gak akan
sanggup ninggalin mereka, aku masih pengen liat mereka tersenyum. Akhirnya aku mutusin
buat titipin sebagian dari aku ke mereka. Mataku untuk Sheila, hatiku untuk
Riyan dan ginjalku tentu saja untuk Tiara. Semoga dengan gini aku bakal tetap
bisa disisi mereka meski dalam wujud yang nantinya akan berbeda. Aku harap
kalian akan tetap tersenyum walaupun ragaku tidak bersama kalian tapi separuh
milikku ada dikehidupan kalian. Aku menyayangi kalian, sahabatku.
Sahabatmu, Rendy Nugraha
Tak ada air mata yang tercurah dari
kami bertiga, melepas sahabat terbaik kami tentu bukan dengan air mata tapi
dengan doa. Lagi pula hujan telah mewakili air mata kami. Ya, saat itu hujan
turun, padahal hari ini cuaca sangat cerah, bahkan mentari tak beranjak dari
tempatnya. Kami berlari-lari kecil di tengah hujan, seperti yang sering Rendy
lakukan dulu, kami berkejaran dan tertawa lepas menikmati hujan. Biarlah
raganya menjauh, tapi kasih sayangnya tentu masih mengalir dalam deru darah
kami. “Eh lihat ada pelangi muncul” tunjuk Tiara. “Kamu berhasil jadi rinai
hujan, Ren” ucapku lirih, aku menangis terharu. “Iyaa, Rendy berhasil bawa
pelangi buat kita” lanjut Riyan. Kami pun berdiri tegak, kami saling bergandengan
tangan, menatap barisan warna yang dikirim oleh sahabat kami, Rendy. Terima
kasih atas separuh darimu yang akan menjadi bagian dari kami separuh darimu
yang memberikan kekuatan pada kami dan separuh darimu menjadi setitik kehidupan
untuk kami. Kamu sahabat terbaik untuk kami.
THE
END