Perempuan Hujan

Rabu, 31 Desember 2014

Yang Cepat Adalah Keinginan


http://edukasi.kompasiana.com/2015/01/01/yang-cepat-adalah-keinginan-699876.html


    Seorang anak kecil yang masih duduk di sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) ditanya oleh gurunya. “Kamu ingin menjadi apa?” Dengan tangkas sang anak menjawab: “Polisi.” Kemudian sang guru tersenyum dan berucap, “Bagus!” Tidak hanya pada satu anak, tapi ke seluruh anak yang ada di kelas itu. Bahkan di sekolah-sekolah lain pun melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan di salah satu TK itu.

    Menariknya, kondisi demikian, mengungkapkan keinginan untuk menjadi orang hebat, terus dimiliki hingga dewasa. Keinginan terus menjadi teman dalam setiap perjalanan hidup seseorang. Ingin menjadi orang hebat dengan segala atributnya. Hingga keinginan itu pun hanya ada di awang-awang tetap menjadi suatu keinginan. Namun, seringkali keinginan itu hanya menjadi keinginan belaka sebab tanpa diikuti oleh usaha.

    Ketika seseorang memiliki satu buah mobil maka muncul keinginan untuk memiliki dua buah mobil. Ketika memiliki dua buah mobil kemudian muncul lagi keinginan untuk memiliki tiga buah mobil. Begitu seterusnya hingga sampai pada suatu keinginan yang tak bisa dicapainya meskipun keinginan tersebut masih bercokol di benaknya. Barangkali ini sesuai dengan konsep ekonomi “Keinginan itu tidak terbatas tapi kebutuhan terbatas.”

    Lantas apa hubungannya dengan menulis? Penulis juga memiliki naluri yang sama seperti anak TK. Ia memiliki keinginan untuk menulis dengan baik. Ingin menulis buku yang spektakuler. Namun, setiap penulis memiliki cara sendiri bagaimana mengatur keinginannya itu sehingga tidak hanya menjadi keinginan melainkan menjadi kenyataan. Anehnya, ketika keinginan itu berhasil dimodifikasi sedemikian rupa justru menghasilkan hal-hal di luar dugaan. Keinginan itu tercapai bahkan melebihi target yang diinginkan.

    Berkaitan dengan itu, Dr. Suyatno, M.Pd. memberikan pelajaran atau trik bagi penulis untuk mencapai keinginannya, menulis buku. Berikut saya kutip pelajaran yang diposting di facebook-nya. “Buku kedua belas saya dapat terbit karena buku kesatu, kedua, ketiga, dan seterusnya. Saat menulis jangan berpikir tentang buku karena terlalu tebal dan banyak lembar tetapi berpikirlah satu paragraf dan satu lembar saja.”

    Ini memang sangat sederhana namun hal sederhana inilah yang seringkali menjatuhkan seorang penulis pemula yang belum dapat memodifikasi keinginannya. Ketika seorang penulis pemula belajar menulis, yang terbayang dalam benaknya adalah menulis buku yang spektakuler. Ketika membaca novelnya Andrea Hirata misalnya, seorang penulis pemula cenderung ingin menghasilkan novel seperti karya Andrea Hirata, best seller.

    Keinginan itu melambung tinggi hingga mau tidur pun masih terbayang-bayang. Bahkan berbagai ekspresi yang akan dilakukan jika seorang penulis itu menjadi penulis best seller pun sudah mulai dibayangkan. Hal itu memang sah-sah saja. Bagaimanapun keinginan biasanya menjadi sumber penyemangat bagi seseorang untuk menjadi lebih baik. Keinginan selalu menjadi kompor.

    Namun, juga tidak boleh dilupakan bahwa keinginan yang terlalu abstrak seringkali justru melemahkan sang penulis pemula. Harus diakui bahwa kegiatan menulis bukanlah abrakadabra. Kegiatan menulis melalui proses panjang. Oleh karena itu, orang yang malas berproses sudah barang tentu tidak akan pernah menjadi penulis hebat. Pada umumnya, menulis novel mentahan minimal dilakukan tidak kurang dari satu bulan. Ingat, itu masih mentahan. Seperti yang sudah saya jelaskan dalam tulisan sebelumnya, setelah menulis masih ada proses pengendapan dan pengeditan.

    Wina Bojonegoro (cerpenis) misalnya mengatakan, untuk menulis novel itu membutuhkan napas yang panjang. Banyak hal yang harus benar-benar dipertimbangkan dalam waktu yang sangat lama. Bagaimana membuat pembaca tidak bosan membaca tulisan itu hingga selesai, yang sudah pasti beratus-ratus halaman, adalah harga mutlak yang harus dilakukan oleh sang penulis. Dan masih banyak lagi kerumitan-kerumitan yang harus dilakukan ketika hendak menulis sebuah novel. Apabila tidak memiliki napas dan komitmen yang kuat maka sudah barang pasti sang penulis pemula tersebut akan jatuh di tengah jalan.

    Untuk itu, melalui pernyataan yang ditulis oleh Dr. Suyatno, M.Pd. di atas sang penulis pemula dapat mengambil pelajaran berharga. Tak perlu membayangkan sebuah buku atau novel ketika menulis tapi lebih baik berpikir untuk menuliskan paragraf demi paragraf dengan baik. Dengan menyederhanakan pandangan terhadap keinginan tentu akan lebih memudahkan bagi penulis pemula. Tak ada beban yang berat sebab keinginan yang terlalu menggebu-gebu.

    Kalau membaca proses kreatif Piepit Senja bagaimana menjadi seorang novelis hebat tantu akan sangat relevan dengan pembahasan kali ini. Mulanya Piepit tidak membayangkan akan menulis sebuah novel. Sehari-hari ia hanya menuliskan catatan harian yang disimpan di pojok kamarnya, catatan tentang dirinya yang menderita kelainan darah bawaan yang secara berkala harus ditransfusi, sering ngedrop hingga sekarat.  Catatan itu ia kumpulkan hingga bertumpuk-tumpuk.

    Pada tahun 1978, ibu Piepit menceritakan tentang rumahnya yang akan diambil oleh rentenir kepada Piepit sebab sejumlah hutang yang melilitnya. Berbekal keyakinan, Piepit yang masih mondok waktu itu, menyanggupi untuk membantu ibunya. Ia mengumpulkan catatan hariannya dan diketik kemudian dibawa ke penerbit. Tentu saja tulisannya tidak langsung diterima oleh penerbit. Ia pergi dari penerbit satu ke penerbit lainnya. Hingga tibalah ia di salah satu penerbit dan kebetulan bertemu dengan Leon Agusta dan Sutardji Calzoum Bachri (Presiden Penyair Indonesia) di penerbit itu. Mereka mendorong direktur penerbitan agar menerima naskah memoar kehidupan Piepit itu untuk diterima. Dan menjadi nasib beruntung bagi Piepit sehingga tulisannya yang waktu itu masih berupa prolog sebanyak sembilan halaman itu diterima. Kemudian diterbitkan dengan judul “Sepotong Hati di Sudut Kamar”.

    Dari cerita di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa untuk menulis buku maka jangan terlalu memikirkan tulisan kita menjadi buku. Bagaimanapun ketika membayangkan buku maka yang muncul adalah tumpukan kertas yang tebal, beratus-ratus halaman, penulisannya membutuhkan waktu lama. Solusi terbaik adalah menulis saja sedikit demi sedikit secara konsisten. Bukankah untuk mencapai seribu langkah dimulai dengan satu langkah pertama?


Sabtu, 20 Desember 2014

Kalian Abadi Dalam Tulisanku, Kawan :)

“Tiada masa paling indah, masa masa disekolah.
Tiada kisah paling indah, kisah kasih di sekolah.”

Assalamualaikum……….
Hellaww teman-teman semuaaa~
Selamat pagi/siang/sore/ malam… Buat kalian yang kapanpun sedang membaca tulisanku ini.
Apa kabar?? Baik yaa? Oke, Masih ingat sama Maulidya Wibawanti yang punya nomor Absen 15? Yaps! Entah kalian masih ingat denganku atau tidak, yang jelas aku tak akan pernah melupakan kalianJ
Well, kali ini aku mau nulis apa yang ada dipikiranku saat ini. Mungkin tulisan ini, tulisan untuk mewakili perasaan yang mulai kangen sama suasana sekolah terutama kelas yang dulu kita tempatin.

Flashback …
Waktu pagi itu, di kelas yang masih sepi. Bangku-bangku yang masih berdiri diatas meja. Bak sampah yang berdiri di depan samping kelas masih dipenuhi dengan sambah-sampah yang mungkin belum sempat terbuang. Papan tulis yang masih tertuliskan pelajaran kemarin pun belum terhapuskan. Lantai kelas yang terinjak-injak oleh puluhan kaki.daftar nama-nama siswa piket harian dan jadwal mata pelajaran yang terpampang nyata di sebelah meja guru.Taplak meja yang masih berantakan, semuanya akan menjadi saksi atas ilmu-ilmu yang guru-guru berikan untuk kita dengan ikhlas dan tulus.
Dihadapan kita, tersusun berjajar kursi-kursi yang penuh dengan kenangan, warna dan wajah-wajah yang dulu pernah kita duduki.  Wajah-wajah yang pernah mengisi kelas dengan nafas, pernah mengisi kelas dengan absensi, pernah mengambil ilmu dari papan tulis dihadapan kita.

Tataplah lekat-lekat sudut-sudut ruangan kelas, sejenak mungkin kita dihantarkan pada hari-hari yang baru kita lalui. Tertawa bersama, berfoto-foto dengan narsisnya, bernyanyi-nyanyi dengan seenaknya tanpa pernah berpikir bahwasanya ada hari dimana kita terpatung bisu menatap proyektor hati yang tengah kita ulang semua hal indah yang pernah dan sudah kita lewati. Kita baru tersadar bahwa perpisahan memang menyakitkan, memang sulit meninggalkan sebuah abstrak bernama kenangan.

               Terlebih saat dimasa SMA/SMK, saat-saat terakhir memakai putih abu-abu, saat terakhir menduduki bangku tempat belajar. Suatu saat pasti kita akan selalu ingat saat kita, berbicara dengan teman, bertanya tentang PR, soal-soal, tugas dan pelajaran-pelajaran yang belum dimengerti bahkan keisengan pun selalu terjadi dan beberapa sahabat kita menyapa manis kita dengan keramahannya.

                Ingatlah, ketika kita pulang sekolah meluangkan waktu untuk belajar bersama untuk menghadapi tantangan Ujian Nasional !!! Dengan susah payah memaksa diri untuk mengerti semua pelajaran. Kita terkadang belajar hingga larut malam dengan harapan  bisa lulus pada sebuah “UJIAN” yang sebenarnya justru akan memisahkan kita. Tapi kita tahu memang itulah jalan kita, jalan menuju masa depan untuk meraih cita-cita masing-masing.

                Ingatlah, saat kita PM (Pendalaman Materi), Ahh sangat terasa perjuangan dan kelelahan untuk hari itu; pulang hingga sore hari, saat matahari mulai meng-emas-kan senjanya langit. Ada yang masih menunggu jemputan entah itu Orang tua ataupun pacar untuk mengantar kita pulang, ada juga yang menunggu angkot di tepi jalan. Sangat terasa lelah sekali hari itu. Yaa.. Walaupun kita sangat kelelahan, tapi masih terangkai doa-doa dalam benak kita. “Semoga lelah ini terbayarkan dengan indahnya sebuah KELULUSAN” Aamiin J

                Berdo’alah, belajarlah, berusahalah semoga “KELULUSAN” itu, “KESUKSESAN” itu dapat kita genggam. Dan “KELULUSAN” itu insya Allah ada di genggaman kita, “KELULUSAN” itu suatu hari nanti pasti mengantarkan kita kembali di kelas ini. Membuat pikiran kita menerawang, menatap lagi gambaran sahabat-sahabat kita yang didada terasa membuncah rindu akannya. Senyumnya, sedihnya, candanya, tawanya, tangisnya, pintarnya, bodohnya, dan juga kekonyolannya.

Detak detik-detik jam boleh saja kembali mengantarkan kita ke belakang dan kembali pada masa lalu. Namun 1 hal yang pasti terjadi : Wajahnya telah sirna. Mungkin butuh waktu yang cukup lama untuk kita berjumpa lagi dengan wajah-wajah yang tegar, yang semangat, yang murah akan senyum, yang ceria, wajah-wajah paling konyol dari teman dan sahabat kita, yang iseng dan yang suka nge-jahil-in, wajah-wajah yang pintar, pendiam, cerdas, kreatif, wajah-wajah yang jenius serta wajah-wajah yang suka nyontek saat ulangan, wajah-wajah dikala duka salah seorang sahabat kita, tangisnya saat ia tengah lalui berbagai masalah internalnya dan menunggu kita untuk membantunya atau paling tidak meringankan beban yang ia rasa. Wajah-wajah yang putus asa namun asa itu bangkit lagi, wajah-wajah luar biasa dan tak akan tergantikan, wajah-wajah yang penuh dengan sambutan hangat, wajah-wajah saat antar-sahabat saling “BERMUSUHAN”, Ngambekan, Cuekan, dan akhirnya “BAIKAN” lagi J, itu akan menjadi sebuah siklus indah menghiasi warna persahabatan.

Lihatlah, wajah sahabat kita yang sayu, yang terlihat pucat, lemah, namun tetap nekat untuk sekolah. Ia masih menghadirkan senyuman untuk kita, meski kita tahu senyuman yang ia berikan itu berat dihadiahkan kepada kita. Tapi terbesitkah di hati kita untuk memikirkannya??? Jawabannya pasti ada yang –Tidak- ada yang –Iya- dan ada juga yang –Kadang-kadang-

                Kalian tahu apa itu sahabat?? Sahabat adalah hal yang berharga didunia, wajah-wajah yang mampu membantu kita hidup dala kehidupan. Dia memberi tahu tentang 5W1H apapun pertanyaan kita. Dia mengajarkan banyak hal kepada kita. Dia orangtua, dia guru, dia kakak, dia adik dan dia juga diri kita. Ya jika kita tahu itu, tentunya kita ingin mengulang dan memutar kembali waktu yang telah kita lewati bersama-sama, dan memperbaiki pandangan kita bahwa sahabat sangatlah begitu berarti bagi kita.

                Kenangan yang tercatat di akhir tahun-tahun kedewasaan. Ada kalanya kita saling memaafkan atas segala hal yang mungkin disengaja ataupun tidak disengaja selama 3 TAHUN ini. J Perpisahan yang akan membawa kita pada masa depan yang lebih indah untuk menggapai cita-cita kita. SEMANGAT!!! Kejarlah terus cita-cita kita kawan. Semoga Allah mempermudah jalan kita untuk menggapai impian dan cita-cita kita. J
Don’t forget me, Maulidya Wibawanti Nomor Absen 15 :D *haha








I Love You All


ADMINISTRASI PERKANTORAN’s FAMILY

Separuh Kami, Dirimu :')

Aku masih duduk didepan teras menikmati suasana guyuran hujan sejak pagi tadi. Bahkan hujan mengizinkan senja muncul hari ini, untuk sekedar menjemput mentari kembali keperaduannya. Aku masih terdiam di sini sejak beberapa menit lalu, tiba-tiba telingaku menangkap suara isak tangis yang menyelingi suara rintikan hujan.  Aku segera berdiri menelusuri suara tangisan itu, semakin dekat aku menelusuri semakin jelas suara isakan itu dan ternyata isakan kecil itu milik seseorang yang aku kenal. Cowok tampan dan manis, tinggi dengan rambut ikal yang membingkai diwajahnya, begitu kata orang tentangnya. Tapi kenyataannya aku tidak tau, yaa.. karena aku memang sama sekali belum pernah melihatnya.
Aku Sheilla, aku seorang perempuan yang -katanya- dibuang oleh orang tuaku karena aku cacat fisik. Aku buta sejak lahir dan karena itu juga aku tinggal di panti ini, panti yang menampung orang-orang cacat dan penyakitan seperti aku.  Sudahlah tak perlu berpanjang lebar membahas tentang hal yang menyakitkan untukku, yang jelas aku merasa ada kehidupan yang layak disini dan aku nyaman.
Aku berjalan menghampiri dan memayunginya dengan payung merah mudaku. “Ngapain kamu disini sendirian, Ren? Ini hujan loh!” tanyaku pada laki-laki yang ku sapa Rendy itu. “Kamu yang ngapain disini? Aku gak butuh perhatian dari kamu! Pergi…!!!”  ia membentakku, sambil menepis payungku. Air hujan pun mulai menyapa kulitku. “Ren, ayo kita masuk, kamu kan lagi sakit.” ajakku dengan sedikit paksaan sambil menarik tangan Rendy. “Aaarrgghh,, LEPAS!! Gue bilang gak usah peduliin gue! Gue gak sakit, gue gak cacat. Gue baik-baik aja, jangan lo fikir gue sama kaya lo dan teman-teman lo yang cacat dan penyakitan itu yah?! Pergi sana dari hadapan gue!!!”  bentak Rendy kasar.
Sakit. Ya, tentu aku marah dan aku sedih dengan ucapan Rendy tadi. Tapi dia sahabatku, mana mungkin aku tega  membiarkan Rendy kehujanan sendirian disini, apalagi ia baru sembuh dari sakitnya. “Kalau kamu nggak mau masuk, aku juga bakal tetep disini nemenin kamu!” ancamku. “Udah deh, PERGI SANA!!”  Rendy mendorongku keras
“Sheilaaa….” teriak seorang laki-laki menghampiriku. “Shei, kamu gak apa-apa?” ucap seorang perempuan sambil membantuku untuk berdiri. Tidak salah lagi, mereka adalah sahabatku juga, Riyan dan Tiara. Riyan adalah penderita penyakit kerusakan hati kronis, sedangkan Tiara menderita penyakit gagal ginjal. Sudah kubilang, panti ini memang dibangun khusus untuk anak-anak seperti kami. Disini kami merasa lebih nyaman, kami merasa sama dan senasib, disini kami belajar saling melengkapi, belajar saling peduli dan saling berbagi.
Tapi Rendy… Dia berbeda dengan kami,  dia tidak cacat, apalagi penyakitan. 6 tahun lalu, ibu panti membawa seorang anak laki-laki berusia sekitar 5 tahun kesini. Ibu panti bilang ia menemukan anak itu di terminal. Anak itu menangis mencari ibunya, mungkin Rendy terpisah dari orang tuanya, atau mungkin sengaja di tinggal. Ahh entahlah, itu tidak penting untuk kami.  Saat itu kami hanya berfikir akan mempunyai teman baru lagi dan aku bahagia dengan kehadirannya. Saat ia sedih merindukan orang tuanya, ia selalu bilang “Orang tuaku pasti akan menjemputku disini. Pasti.” itulah kalimat andalan Rendy.
Sejak awal kehadirannya, dia selalu menolak saat kami ajak bermain. Dia tidak ingin berbaur dengan kami, ia sibuk dengan dunianya sendiri, selalu menyendiri. Tetapi seiring berjalannya waktu, Rendy mulai beradaptasi dengan kehadiran kami dikehidupan barunya disini. Rendy anak yang baik hati, pintar dan lucu. Kami pun mulai terbiasa membaurkan diri kami dengannya dan Rendy mulai menerima kami sebagai keluarga barunya, ia anak yang ramah dan penyayang bagiku.
Hari demi hari telah terlewati. Aku, Tiara, Riyan dan Rendy sering bermain dan belajar bersama. Rendy mengajari banyak hal pada kami,  termasuk semangat hidup untuk sembuh. Rendy selalu mengajari Riyan bermain gitar dan menemaninya bermain sepak bola, bahkan Rendy juga mau menemani Tiara yang hobi karaoke-an. Rendy juga selalu menceritakan hal-hal yang tidak bisa aku lihat, seperti keindahan saat mentari terbenam, bunga yang bermekaran, rinai hujan yang mengguyur bumi, juga tentang sosok Riyan dan Tiara. Rendy bilang Riyan itu tampan, tinggi, kulitnya putih. Sedangkan Tiara, cantik, kulitnya putih dan berambut lurus panjang sebahu. Dan Rendy juga bilang kalau aku itu manis, dengan dagu yang agak terbelah dan rambut hitam bergelombang yang membingkai wajahku.
Tapi entah mengapa beberapa bulan ini sikap Rendy berubah total, ia kembali menjadi Rendy yang pertama kita kenal. Rendy sering menyendiri dan tidak ada yang boleh satu orang pun masuk kehidupannya lagi. Kini, Rendy cengderung menjadi sosok yang mudah marah, kasar dan menyebalkan. “Ren, lo apa-apaan sih? Gak usah kasar gini dong. Sheila itu perempuan!” gentak Riyan membelaku.  “Haha, lo? Gak usah ikut campur. Ngerti?!!” kata Rendy dengan nada keras. “Tapi Ren…..” kata Tiara terpotong “Tapi apa??? Lo juga! Gak usah ikut campur sama kehidupan gue!” Rendy kembali membentak.  “Kamu berubah, Ren! Kamu bukan lagi Rendy, yang kami kenal ramah. Kami sahabatmu, Ren. Kamu lupa?!” Mataku mulai berkaca-kaca. “Hah? Apa lo bilang? Gue sahabat kalian? HAHA jangan berkhayal. Gue gak butuh sahabat cacat dan penyakitan seperti kalian!” volume suara Rendy mulai membesar.
Tiba-tiba *Paakkkkkk…… terdengar suara tamparan. “Tiara? Udah berani nampar gue? HAHA hebat. Mau nambah lagi? Tampar gue lagi, tampar sekarang. Dan lo Sheila, mau nampar gue? Ayoo silakan dengan senang hati. Riyan, gimana dengan lo? Lo juga mau nampar gue? Atau lo mau pukul gue sama babak belur? Gak apa-apa, ayo pukul sekarang silakan.” Rendy berceloteh panjang lebar menawari diri untuk menampar dan memukulinya. Tapi sekali lagi, kami sahabatnya. Kami tidak mungkin tega menyakiti diri sahabat kami. Kami terdiam membisu. “Kenapa diam aja? Ayo tampar gue, pukul gue! Tadi Tiara berani tuh.” Emosi Rendy meningkat. “Mana mungkin kami menyakiti sahabat sendiri.” kataku mulai meneteskan air mata. “Halah, Omong kosong! Pergi sana… Gue gak mau lihat muka kalian!” Rendy mengusir kami. “Kami merindukanmu, Ren. Bagaimanapun sikap kamu terhadap kami, kamu akan tetap menjadi seorang sahabat yang kami cintai.” kataku. Rendy terdiam dan kami segera meninggalkan Rendy sendiri.

***

Sore itu selepas hujan. Kami bertiga, aku, Riyan dan Tiara, berencana untuk berkumpul di danau Pelangi. Danau ini, Rendy lah yang menemukannya. Sudah lama Rendy tak mengunjungi Danau Pelangi karena akhir-akhir ini Rendy lebih sering mengunci diri di kamarnya.
Kami menyusuri danau ini, kami dikelilingi daun berwarna hijau cerah, di hiasi butiran-butiran bening sisa air hujan tadi pagi. Air danau nya pun bergerak perlahan membiaskan langit yang kala itu di hiasi pelangi. Saat malam danau ini akan menghamparkan ribuan bintang dan cahaya bulan. Tiba-tiba Riyan menghentikan langkahku dan Tiara. “Hey…. Lihat! Pelangi itu muncul.” Kata Riyan menunjuk langit yang dihiasi pelangi itu. “Ohyaa? Masa sih?” kataku. “Iya , Shei. Lengkungan warna-warninya udah sempurna.” Jawab Tiara dengan semangat. “Andai ada Rendy disini, pasti dia akan menceritakan warna-warni tentang pelangi itu” harapku dalam hati. “Aku kangen Rendy” gumamku. “Kita juga sama, Shei. Kita kangen Rendy” kata Riyan dan Tiara memelukku.
Setelah itu, kami terdiam. Tak beberapa menit kemudian pelangi itu pun hilang, kami beranjak pulang, tapi kemudian derap kami terhenti. “Kenapa berhenti?” tanyaku heran. Ternyata Riyan dan Tiara melihat Rendy melangkah perlahan ke arah sebuah pohon yang tidak terlalu besar. Ia menggali lubang disana dan menguburkan sesuatu, sejenak Rendy terdiam lalu air matanya mulai menetes perlahan dan jatuh sampai ke bumi. “Rendy Ngapain yah disitu, kenapa dia nangis?” Tiara bertanya-tanya. “Apa? Ada Rendy disini? Dia nangis? Aku mau samperin dia.” Kataku sambil melangkahkan kaki menuju pohon itu. “Shei, Jangan Shei. Udahlah jangan kamu pikirin dia lagi, dia bilang sendiri kalau dia nggak butuh kita” cegah Riyan menarik tanganku. “Tapi dia sahabat kita, Yan!” kataku. “Itu dulu, Shei.” sergah Riyan. “Apa kamu bilang, yan? Dulu? Sekaran juga! Dan SELAMANYA!!” aku melepaskan genggaman tangan Riyan di pergelangan tanganku dan aku langsung pergi menjauh.

***

3 Minggu berlalu. Suara Guntur dan angin menghiasi malam ini. Kami membisu, menatap sosok lemah itu dari balik kaca jendela. Ia terlihat begitu letih, guratan kesakitan hampir menghilangkan ketampanannya. Rambutnya menipis, kulitnya memucat, bibirnya pun putih, dan tangan yang dulu selalu diulurkan untuk membantu teman-temannya, kini lemah tak berdaya. Air mata kami tentu tak dapat dihitung, sudah berapa banyak yang tertumpah.
“Rendy selalu bilang kepada ibu, kalau kalian segalanya untuknya, maafkan sikap Rendy selama ini pada kalian, maksud sikap Rendy terhadap kalian kemarin supaya kalian membenci dan menjauhinya. Itulah sebabnya kenapa Rendy berubah mendadak kasar dan seakan menjauhi kalian. Dia hanya tidak ingin kalian merasa sedih saat dia pergi nanti.” Jelas ibu panti kepada kami. “Ibu jangan bilang begitu, Rendy pasti sembuh. Kita selalu mendoakannya.” Ucapku getir.
Semua hanyut dalam kesedihan dan doa. Doa untuk sahabat terbaik kami selalu mengalir deras dari mulut kami. Aku takut,  entah mengapa aku merasa Rendy akan segera pergi meninggalkan kami, tapi segera ku tepis perasaan itu. Bagaimana jadinya kami tanpa dia, bukankah dia yang selama ini menyemangati kami, yang ikut merasakan kesakitan penyakit Riyan, yang ikut menangis melihat Tiara cuci darah, yang menjadi tongkat dan petunjuk arahku. Tentu tuhan tidak akan sejahat itu, mengambilnya dari kami. Bersamaan dengan doa yang terus mengalir untuk Rendy yang sedang berjuang di dalam sana, memori tentang Rendy pun berputar dalam pikiran kami masing –masing.

>> FLASH BACK>>

Siang itu kami berempat berkumpul di danau pelangi untuk bermain bersama. Walaupun hujan mengguyur tubuh kami, kami tetap asyik dengan canda dan tawa yang kami ciptakan. Kami bernyanyi dan menari-nari dibawah siraman air hujan. Rendy, Riyan dan Tiara kompak mencipratkan air hujan ke tubuhku dan aku membalasnya. Kami merasakan kebahagiaan saat itu.
Sudah cukup lama kami bermain dibawah jutaan titik-titik air langit. Kami menatap langit yang sudah mulai cerah, awan-awan hitam pun pudar dan matahari sudah terlihat. Kedatangannya menghangatkan tubuh kami.
“Heeyyy…. Coba lihat diatas sana, pelangi mulai muncul.” Riyan menunjuk kearah lukisan tuhan yang indah itu. “Indahnya…Pengen deh, persahabatan kita kaya warna-warni pelangi, selalu lengkap. Tapi sayangnya gak mungkin, suatu hari nanti salah satu diantara kita pastiii…” kata Tiara terpotong. “Riyan pasti dapet pendonor hati, Tiara pasti dapat ginjal yang cocok dan Sheila pasti dapat pendonor mata dan bisa melihat lagi. Percaya deh, suatu saat kalian akan sembuh dan menatap pelangi itu sambil tersenyum” Rendy memotong pembicaraan Tiara sebelumnya, ia tidak mau membicarakan kematian atau perpisahan. “Iya, aku jadi gak sabar pengen bisa liat pelangi bareng kalian, sahabatku” ucapku sambil memeluk Tiara, Rendy dan Riyan.

>>FLASH BACK OFF>>

Kami berlari kecil di koridor rumah sakit. Tiara terus menggandeng tanganku. Senyum manis merekah di sudut bibir kami, mendengar kabar bahwa Rendy sudah sadarkan diri. Kami masuk ruangan dimana Rendy dirawat, segera kami menghampiri Rendy. “Ren…” sapa Riyan. “Haii, kalian?” Rendy tersenyum, kami menatapnya sedih. “Pada kenapa sih, gak usah di dramatisir gitu deh, Aku sadar bukan buat lihat kalian sedih, apalagi nangis begitu” kata Rendy. “Kamu harus janji, Ren sama kita!” pinta Riyan. “Janji apa?” tanya Rendy. “Janji gak bakal ninggalin kita” lanjut Riyan. “Iya, kamu juga harus cepet sembuh Ren, kamu kan udah janji mau nemenin aku liat pelangi. Sebentar lagi aku bakal bisa lihat loh, Ren” pintaku pada Rendy. “Iya, kita semua dapat pendonor Ren, kita bakal sembuh, kaya yang kamu bilang dulu. Makanya kamu juga harus perjuangin untuk kesembuhanmu.” Tiara tersenyum. “Aku pengen jalan-jalan ke danau pelangi, kalian mau kan anterin aku? Gak akan lama kok, sebentar aja.” pinta Rendy. Melihat keadaannya yang stabil, kami pun akhirnya setuju. “Ya udah, tapi sebentar aja yah, lo kan harus banyak istirahat” kata Riyan, Rendy pun mengangguk setuju. “Aku izin ke dokter dulu yah” usul Tiara. “Okee!!” kami serentak dan tersenyum.
Kami pun mulai menyusuri jalan berumput menuju danau pelangi, dan “Shei, kamu yang dorong kursi rodaku yah?” pinta Rendy. Yaps, Rendy meminta aku yang buta ini untuk mendorong kursi rodanya, aku pun menyetujuinya. Dia selalu mengarahkanku, menuntunku ke jalan yang tepat. Aku semakin sadar akan sangat sulit berpisah darinya, dia adalah titik cerah yang Tuhan kirimkan untuk sosok dalam kegelapan seperti aku.
Sesaat kami sampai di danau pelangi, kami disapa oleh bau tanah yang semerbak dan tetesan air yang bergelantung di ranting-ranting pepohonan. Tapi air danaunya berubah, tidak lagi tenang seperti biasanya, kini air danaunya beriak seakan sedang gelisah. “Eh eh, pelanginya udah muncul tuh” teriak Tiara. “Selalu indah” gumam Rendy sambil tersenyum. Kami semua menatap lengkungan barisan warna itu, aku pun seakan menemukan lengkungan berwarna itu dalam kegelapan. Memang di lihat berapa kali pun tak akan mengurangi keindahannya.
“Aku mau jadi warna merah, kuat dan berani, supaya bisa jagain kalian” kata Riyan tiba-tiba. “Kalo aku mau jadi warna kuning, ceria dan periang, supaya aku bisa bikin hari kalian selalu cerah.” lanjutku. “Aku mau  jadi warna hijaunya, tenang dan lembut, biar aku bisa bawain kalian kesejukan” tambah Tiara. “Kalau kamu, Ren?” tanyaku. “Kalau aku mau jadi sejuta rinai hujan” ucap Rendy, kami semua menoleh ke arahnya. “Kenapa hujan ren? Kenapa gak jadi langitnya, langit tempat pelangi bergantung” saranku.
“Suatu saat kita pasti akan berpisah, dan aku bakal jadi orang pertama yang mempersatukan kita. Kalian tau kan pelangi gak akan muncul tanpa seruan hujan, karena itu aku pengen jadi hujan, hujan yang akan memanggil kalian. Itu artinya akulah yang selalu mengantarkan kebahagiaan pelangi untuk kalian, kapanpun dan dimanapun kalian berada.” Jelas Rendy panjang lebar.
Aku menangkap kata-kata itu sebagai ucapan perpisahan. Aku berfikir bahwa Rendy sadar bukan untuk sembuh, tapi hanya untuk mengizinkan kami melihat senyumnya untuk yang terakhir kali. “Kita pulang yuk Ren.” ajakku. “Sebentar lagi Shei, nunggu pelanginya hilang dulu” Rendy menolak. Kami melanjutkan untuk menatap pelangi itu, pelangi terakhir yang bisa kami nikmati bersama sosok Rendy, karena setelah itu bersamaan dengan pelangi yang lenyap, mata Rendy pun perlahan merapat, tapi kedua sudut bibirnya tetap membentuk lengkungan manis. “Rendy? Rendy… bangun Ren…” kata Tiara terisak. “Rendy kenapa, Ra? Riyan, ada apa dengan Rendy??“ aku panik. “Kamu dan pelangi pergi bersamaan, Ren.” lirih Riyan.
Kita sama-sama tau bahwa jiwa Rendy telah meninggalkan raganya. Aku menggenggam tangan Rendy sangat  dingin. Saat menuju rumah sakit, aku kembali mendorong kursi roda yang dinaiki Rendy. Tapi kini tentu berbeda, karena raga yang duduk di atasnya tak lagi menunjukkan arah yang harus ku tempuh. Kami semua menangis merasakan gejolak kesedihan dalam relung hati.

***

Hari itu cuaca cerah, burung pun beterbangan di angkasa dan kicauannya terdengar merdu saat itu. Sudah beberapa menit berlalu. Kami masih  berdiri disini, di bawah sebuah pohon yang tidak terlalu besar, di tepi danau pelangi. “Sekarang, Yan!” kata Tiara. Riyan pun mulai menggali tanah itu, tak berapa lama sebuah kotak muncul di dasar lubang yang tidak terlalu dalam. Riyan mengambil kotak itu dan membersihkannya dari beberapa bulir tanah. Kami bertiga sepakat untuk segera membukanya, membuka kotak yang Rendy kubur waktu itu. Saat kami membukanya, kami dapati 5 buah benda disana. Lukisan kecil bergambarkan gitar dari Riyan, syal biru tua dari Tiara, gantungan kunci berbentuk gitar dariku dan selembar foto kami berempat sedang tertawa lepas menatap kamera. “Ternyata memang manis. Manis sekali” batinku.
Yaa, inilah kali pertama aku melihat wajah Rendy. Sekarang kami bertiga telah sembuh, pendonor itu telah memberikan separuh dari dirinya untuk menjadi setitik kehidupan untuk kami.. Aku sudah dapat mata, Riyan sudah dapat hati dan Tiara sudah dapat ginjalnya. Kami benar–benar sudah sembuh, tapi tetap saja kehidupan kami belum lengkap tanpa Rendy disisi kami. Terakhir sepucuk surat yang di taruh di dasar kotak. Riyan mulai membuka dan membacanya. Aku dan Tiara mendengarkannya.

Aku Rendy Nugraha , Aku bukan laki-laki hebat, aku juga bukan laki-laki kuat, aku hanya seorang laki-laki yang baru nemuin kehidupan aku disini, aku baru ngerasain gimana rasanya disayangi, gimana diperhatiin dan aku ngerasain indahnya berbagi. Dari kecil aku sendirian, aku dibuang oleh orang tuaku. Tapi aku bersyukur karena dengan begitu akhirnya Ibu panti mempertemukan aku dengan mereka. Yaps! Sheila, Tiara dan Riyan.

Mereka sahabatku, semangatku, hidupku. Aku rela ngasih apapun yang aku punya buat mereka. Saat aku tau mereka bakal cepet ninggalin aku, Aku takut, Aku sedih, Aku berdoa agar aku yang duluan di panggil Tuhan, supaya aku gak perlu ngerasain sedihnya kehilangan mereka. Dan Tuhan mengabulkan doaku, kanker otak stadium akhir, penyakit yang aku  fikir ini anugerah, tapi kemudian aku sadar, gimana dengan mereka kalau aku pergi lebih dulu dari mereka, siapa yang akan mejaga mereka?
Berpura-pura semuanya baik-baik saja, tentu bukan hal yang mudah bagiku,  jadi aku memilih  untuk mejauh dari mereka. Aku gak mau semangat mereka buat sembuh hilang saat mereka tau keadaanku yang sebenarnya seperti ini. Aku nyesel akan doa yang aku pinta pada Tuhan, Aku gak  yakin sanggup biarin mereka sedih, aku gak akan sanggup ninggalin mereka, aku masih pengen liat mereka tersenyum. Akhirnya aku mutusin buat titipin sebagian dari aku ke mereka. Mataku untuk Sheila, hatiku untuk Riyan dan ginjalku tentu saja untuk Tiara. Semoga dengan gini aku bakal tetap bisa disisi mereka meski dalam wujud yang nantinya akan berbeda. Aku harap kalian akan tetap tersenyum walaupun ragaku tidak bersama kalian tapi separuh milikku ada dikehidupan kalian. Aku menyayangi kalian, sahabatku.

Sahabatmu, Rendy Nugraha

Tak ada air mata yang tercurah dari kami bertiga, melepas sahabat terbaik kami tentu bukan dengan air mata tapi dengan doa. Lagi pula hujan telah mewakili air mata kami. Ya, saat itu hujan turun, padahal hari ini cuaca sangat cerah, bahkan mentari tak beranjak dari tempatnya. Kami berlari-lari kecil di tengah hujan, seperti yang sering Rendy lakukan dulu, kami berkejaran dan tertawa lepas menikmati hujan. Biarlah raganya menjauh, tapi kasih sayangnya tentu masih mengalir dalam deru darah kami. “Eh lihat ada pelangi muncul” tunjuk Tiara. “Kamu berhasil jadi rinai hujan, Ren” ucapku lirih, aku menangis terharu. “Iyaa, Rendy berhasil bawa pelangi buat kita” lanjut Riyan. Kami pun berdiri tegak, kami saling bergandengan tangan, menatap barisan warna yang dikirim oleh sahabat kami, Rendy. Terima kasih atas separuh darimu yang akan menjadi bagian dari kami separuh darimu yang memberikan kekuatan pada kami dan separuh darimu menjadi setitik kehidupan untuk kami. Kamu sahabat terbaik untuk kami.


THE END

Fernando José Torres Sanz, Inspiração (Inspirasiku).

Kali ini aku mau berbagi cerita tentang idola aku, sebut saja Torres  yang sering banget dihujat sama –yang katanya- fans sepakbola tapi gak ngerti sama sekali tentang  –Apa itu- respect. Sering aku bertanya-tanya, suporter macam apaan itu? Suporter berjenis apa itu? Kok lisan-nya mudah sekali untuk menghina, menghujat, mencemooh dan mencaci-maki.
Sebenarnya tulisan yang ingin aku tulis ini adalah inspirasi dari mereka  –yang rasis-. Kali ini mereka menjadi alasan untuk terus menulis dan mengisi blog ini.  Terima kasih yakJ *senyum gak ikhlas tapi diikhlas-ikhlasin*. Maaf yaa, aku emang agak-agak sinis gitu kalau ngomongin mereka .  Hahah oke, jangan bahas tentang mereka –yang rasis- dan –yang gak ngerti tentang arti respect- itu yah, aku malas dan aku jijik. Itu bukan topic yang ingin aku bahas kali ini, yaps! Lebih baik kita membahas DIA (Fernando Torres) yang berhasil bikin aku bangga dan kagum akan sosok kepribadiannya. Tapi, alangkah lebih baiknya, para Haters Torres juga membaca tulisan ini. jangan lupa buka mata hati dan pikiran kalian. Semoga setelah kalian membaca tulisanku ini, mata hati kalian terbuka dan pikiran jelek kalian tentang Torres segera pergi melayang terbang tinggi jauh keatas awan *eaakk haha. Semoga kalian selalu diberi kesadaran bahwa sesuatu yang baik dan benar menurut kalian itu belum tentu  jelek, dan sebaliknya. Semoga setelah kalian membaca tulisanku ini, kalian tidak lagi membenci torres malah kalian akan  mencintainya. Ingat loh, benci itu bisa saja menjadi cinta! *Nah loh?!. Dan semoga apa yang aku semoga-kan bisa terwujud. Aamiin J Oke, kita mulai yaa. Check it out!
Dia adalah Fernando José Torres Sanz, ia dijuluki dengan sebutan El Niño yang artinya (kalau tidak salah) Anak Laki-laki. Siapa yang tidak kenal dengan Fernando Torres, sosok striker milik Chelsea kelahiran Spanyol ini memiliki segala atribut yang dibutuhkan untuk menjadi striker kelas dunia. Penuh talenta, cepat, kuat, dan sangat berbahaya di muka gawang lawan. Akan tetapi, kiprah Torres langsung meredup ketika ia memutuskan bergabung bersama Chelsea. Torres kehilangan kebuasannya sebagai striker yang  “kejam” di depan gawang lawan. Torres tidak mampu menunjukkan performa yang sesuai. Tidak ada yang menduga ternyata kemudian talentanya seolah menguap, hilang tak berbekas. Torres berubah dari seorang macan ganas, menjadi tak lebih dari macan kertas. Tragis.
Nilai transfer sebesar 50 juta poundsterling membuat Torres disebut-sebut sebagai pemain matre yang bermental uang. Bagaimana tidak, semenjak bersama Liverpool, Torres telah mampu menjadi primadona dan kata-kata pujian  terus mengalir dari lisan para Liverpudlian. Akhirnya kepindahan Torres ke Chelsea dianggap sebagai pengkhiatan bagi The Reds. Tapi Torres tetap pada pilihannya, ia memutuskan pindah karena ingin merasakan juara. Itulah konsistensi diri Torres. Salut!
Derita Torres ternyata bukan hanya berakhir pada hinaan dan cemoohan para pendukung The Reds yang kecewa dengan kepindahannya. Performanya bersama The Blues menjadikannya sebagai bahan lawakan seantero Inggris. Dari seorang ahli penjebol gawang menjadi striker yang alergi menjebol gawang lawan. Entah apa sebenarnya yang tejadi pada diri Torres sehingga ia yang dulunya sangat tajam dan berbahaya di depan gawang lawan, sekarang hanya menjadi pemain berstatus bintang namun tak bersinar gemilang. Minim gol dan minus kontribusi bagi The Blues. Pamornya seketika meredup, puncaknya ialah ketika Del Bosque mengumumkan bahwa Torres tidak diikut sertakan sebagai pemain timnas Spanyol pada Euro 2012 di Polandia-Ukraina.
            Sudah jatuh tertimpa tangga. Torres terjebak pada situasi yang buruk melalui pengharapan pada capaian prestasi terbaik. Bukan hanya para pencinta bola yang bingung, Torres pun tentunya bingung. Ia yang sebelumnya begitu bersinar, kini hanya kebagian bola-bola liar di lapangan. Rekan-rekan di Chelsea pun kurang mempercayakan umpan-umpan indah padanya. Mereka mendukung Torres dari berbagai pernyataannya di media, tetapi mereka juga bersama pasti setuju bahwa ada yang salah pada diri Torres dan ia butuh waktu untuk menemukan performa terbaiknya kembali.
            Kisah hidup Torres tentunya juga relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Khususnya bagi mereka yang pernah merasakan indahnya karir dan manisnya prestasi. Kemudian, di saat kita semua sedang merasa akan mencapai puncak karir dan prestasi, di saat itu pula kita dicoba dengan cobaan yang tidak pernah mampu kita prediksi.
            Mengejar cita-cita dan mimpi memang membutuhkan perjuangan yang keras. Mewujudkan harapan bukanlah hal yang dilakukan dengan membalikkan telapak tangan. Mimpi dan cita-cita membutuhkan lebih dari sekedar usaha yang luar biasa. Kedua hal ini juga membutuhkan kesabaran. Ketika kita mendapatkan cobaan dalam perjalanan menggapai impian, sesungguhnya ini merupakan bentuk untuk mendewasakan pribadi kita yang masih lemah. Berbagai kesulitan itu ingin menguji semampu dan sekuat apa kita dalam perjalanan mengejar cita-cita.
            Dalam mengejar impian pun kerap sekali kita berada pada anggapan remeh dari orang lain. Tapi apakah kita harus menyerah? Di sinilah letak perbedaan antara para pemenang dengan pecundang.“The winner never quit, and the quitter never win” merupakan kalimat yang memiliki makna “Pemenang tidak pernah mundur dan mereka yang mundur tidak akan pernah menjadi pemenang” membedakan mereka yang takut dengan impiannya dan mereka yang kuat berjuang mewujudkannya. Tidak ada kesuksesan yang instan tanpa penderitaan dan perjuangan. Ketika kita melewatkan perjuangan dan takut menghadapi penderitaan, maka saat itulah kita makin jauh untuk merasakan manisnya sebuah kesuksesan.
            Sebuah proses dalam menggapai mimpi itulah yang membuat indah cerita biografi kita jika suatu saat kita tuliskan. Kisah hebat dalan bertahan dari segala kesulitan untuk mencapai impian itulah yang akan menjadi teladan bagi keluarga dan handai taulan. Ibarat metamorfosis seekor ulat daun menjadi kupu-kupu, tidak ada keindahan hidup yang luar biasa tanpa tekanan, himpitan, dan derita dalam berjuang.
            Saat ini mungkin kita menganggap berbagai kegagalan yang terjadi pada rencana-rencana kita berasal dari tidak adanya keberuntungan (lucky). Tapi yakinlah, bahwa keberuntungan itu pun perlu dipersiapkan melalui kegigihan. Kita menyaksikan bagaimana tidak menyerahnya Torres berjuang membuktikan bahwa dirinya masih layak diakui sebagai seorang pemain yang luar biasa. Ia tidak menyerah meskipun setelah berpindah ke Chelsea beberapa kali ia tidak mendapatkan posisi sebagai seorang penyerang. Tetap berjuang untuk membawa Chelsea menang. Hingga kemudian sebuah gol indah penutup kemenangan Chelsea atas Barca terjadi di Camp Nou sebagai pembuktian bahwa ia masih menjadi pembobol ulung.
            Bagi yang menyaksikan pertandingan tersebut tentunya tidak akan menyangka bagaimana Torres yang dimasukkan di menit-menit akhir pertandingan mampu mendapatkan bola yang kemudian menjadi petaka bagi tim Catalan sehingga kemudian segenap media massa di dunia memberitakan hal ini berulang-ulang. Memunculkan harapan dan pujian yang sangat besar bahwa El Nino sudah kembali pada jalan yang benar. Bagaikan efek domino, penampilannya terus mengalami perbaikan, dan puncaknya ialah ketika menjadi hattrick dalam pertandingan menghadapi sebuah tim liga Inggris.
Ah iyaa, untuk melengkapi info. Aku pernah membaca sebuah artikel disebuah blog, aku lupa apa nama blog tersebut. Kabarnya, sebelum Torres hijrah ke Chelsea ia mengalami cedera lutut yang bisa dibilang kronis dan ia sudah dua kali menjalani operasi lutut pada tahun 2010 silam. Saat itu lah titik kejatuhan Torres yang benar-benar menghilangkan ketajamannya. Torres bukan lagi El Niño dua kali melakoni operasi lutut, dimulai dengan performa tumpulnya di Piala Dunia 2010. Memang lutut adalah jantung kedua  bagi pemain seperti Torres yang mengandalkan kecepatannya. Saat jantung itu hilang kekuatannya, hilang pula masa ke-emas-annya.
Aku sangat prihatin dengan keadaannya, apalagi usia-nya yang sekarang sudah tidak bisa dibilang muda lagi. Tidak sedikit kemungkinan jika Torres bisa saja suatu saat nanti rentan mengalami cedera lutut. Tapi, aku sih selalu berharap yang terbaik untuknya. Selalu sehat-panjang umur, dimudahkan rejekinya dan disukseskan karirnya. HAHAH aamiin J
            Kisah Torres dalam menghadapi masa-masa sulitnya untuk kembali pada kegemilangan karir tentunya memiliki nilai pelajaran hidup yang sangat sayang untuk dilewatkan. Terlepas dari prasangka Torres adalah seorang pesepak bola yang mementingkan uang, yang jelas berprasangka buruk tidaklah akan membawa pelajaran yang positif bagi diri kita. Dalam menggapai sebuah kesuksesan, potensi dan kemampuan yang kita miliki sering sekali tidak berarti banyak tanpa berada pada tempat yang tepat dalam waktu yang tepat. Dalam mencari tempat yang tepat inilah dibutuhkan keberanian untuk melewati batas kenormalan dengan mencari tantangan-tantangan baru. Sementara waktu yang tepat hanya akan tercipta setelah usaha benar-benar maksimal dilakukan.
            Torres boleh saja dihina, disebut matre, dan pernah diremehkan ketika berada pada masa-masa sulit menggapai impiannya. Akan tetapi, tanggal 20 Mei 2012 harapan Torres merasakan juara di level Eropa sudah  menjadi  kenyataan.  Chelsea juara, sehingga tidak ada yang sia-sia dengan pilihan Torres. Meskipun ia tidak mencetak gol penentu kemenangan Chelsea, tetapi menurut saya Torres telah menemukan momentum yang tepat untuk mendapatkan impiannya. Menjadi juara Liga Champion Sementara bagi para Haters atau pembenci Torres, boleh jadi mereka akan terus membenci dan tidak menyukainya, karena dalam hidup ini orang-orang yang seperti itu akan selalu hadir dalam setiap perjuangan para pengejar mimpi. Namun, apakah harus selalu berusaha disukai orang lain untuk sesuatu yang benar-benar baik dan berarti bagi diri Anda?

Sekian.

Masih tentang Pelangi

Lelaki itu masih saja berdiri.


Dan hujanpun turun lagi. Mungkin ini hujan yang keseribu kalinya dimana aku harus berdiri menunggu pelangi. Gila. Pasti orang-orang akan berkata seperti itu ketika mereka melihatku. Yaa..itu pasti. Pasti mereka akan berkata Bagaimana mungkin dapat melihat pelangi dimalam hari?
Namun aku masih saja berdiri menantang langit. Jangankan pelangi, bintang pun segan untuk melihat keberadaan ku.
Entah sudah berapa juta langkah terlewati, berapa juta detik yg hilang , dan berapa juta pengharapan yg terkubur dibenak ini. Hanya untuk satu kata...pelangi.
Aku menyebutnya pelangi. Kenapa? Mungkin itu yg ada dibenak kalian saat ini. Ahhh...tak perlu kuteruskan. Cerita tentang pelangi cukup aku saja yg menyimpannya. Pelangi bukan cerpen, bukan pula puisi ataupun kata mutiara yg diucapkan oleh sang pujangga. Pelangi adalah warna untuk lelaki sperti aku. Lelaki yg hidupnya dikenalkan dan bergelut dgn hitam. Gelap.
Dan malam ini pun hujan turun lagi. Aku tak peduli. Anggap saja aku sudah gila. Walau harus berdiri diderasnya hentakan hujan. Harus kaku didalam bekunya malam. Dan harus mati didalam sbuah pengharapan yg telah hilang. Semua untuk pelangi. Dan untuk dunia ku yg telah kubuang semenjak aku kehilangan nya.
Kosong. Panca indra n segala rasa ku sudah tak berfungsi lagi. Bayangkan lah. Aku memang masih hidup. Bernafas. Dan masih bisa menghitung setiap kali jantung itu menendang dadaku. Namun rasaku sudah mati. Pikiranku sudah mati. Semua mimpi2 itupun ikut mati. Tak ada arah. Tak ada tujuan. Seperti kapas yang siap melayang kemanapun angin membawanya pergi dan perlahan hilang.
Kini Hujan telah berhenti. Mungkin ia sudah bosan melihatku masih saja berdiri disini. Mungkin juga hujan itu ingin menamparku dan menyadarkanku bahwa ia tak akan pernah lagi memberiku kesempatan untuk melihat pelangi karena dulu aku telah menyia-nyiakan pelangi yg ia berikan. Atau mungkin ia ingin memberi isyarat padaku bahwa skrg sudah saatnya aku pulang.
Bila itu benar, aku akan katakan kepada hujan bahwa aku tak akan pernah berhenti menunggu pelangi. Meski sang pemilik waktu tak memberi kesempatan lagi. Akan kulanjutkan menunggu pelangi didunia tanpa batas waktu.

Persembahan untuk kamu ,pelangiku...

It's your time. Your month. June


will keep your dreams. I'm here. And still be here till the end of time.

Surat Cinta Untuk Lelaki Pelangiku :')

aku menjadikan indah setiap nyata kesedihan ini
melalui sajak yang seharusnya bermakna lirih
tapi tetap terpancar bahagia
aku yang masih setia
menanti kehadiran pelangi setiap malamnya

gila, ya, mungkin mereka menganggapku gila
menanti pelangi pada langit malam yang tak bercahaya
hanya gugusan gemintang yang merona
seakan menertawaiku akan kebodohan ini
meski langit malam ini menumpahkan molekul air membasahi tanahku berdiri
tapi sungguh aku tetap percaya,
ku yakinkan jika ini bukan sekedar penantian yang sia-sia

pelangiku akan muncul,
pelangiku akan hadir membuatku terpesona akan warna yang beraneka
membentuk lekukan indah
melalui setiap warna yang membingkai senyummu yang sempurna

ya, aku gila, ku katakan sekali lagi pada mereka "aku gila"
tapi mereka tak pernah tau
bagaimana menanti kamu yang setia menjadi pelangi saat badai menerpa
mereka hanya tau pelangi muncul setelah hujan
dan hanya terlihat saat langit terang bercahaya

tapi bagiku, kamu adalah pelangi yang hadir "saat" bukan setelah "usai"
kamu hadir untuk mengusirnya
menghapus hujan yang mengalir dari pelupuk mataku
kamu menciptakan hangat saat dingin memelukku

melalui senyum itu
senyum yang tak sering kau perlihatkan secara nyata padaku
senyum yang lebih sering kau lukiskan untuk mereka
senyum yang mungkin memang bukan untukku
tapi aku berhasil menyimpannya
memori indah saat senyum itu membingkai sempurna
menegaskan garis wajahmu

pelangi, aku masih tetap setia menunggu hadirmu
berkas cahayamu tak kan tersamarkan
meski putaran waktu mengubah gelap langit menjadi bercahaya

aku akan hadir, selalu hadir setiap malamnya
untuk menanti indah warna yang kau janjikan padaku
melalui pengharapan pada Sang Pencipta alam semesta
menjadikan nyata mimpi yang selama ini tercipta
di suatu tempat, di luar sana, dan hanya ada kita
aku, kamu, dan Sang Maha Kuasa

dengan sorak-sorai alam semesta yang menjadi saksi penyatuan cinta