Perempuan Hujan

Sabtu, 14 Februari 2015

14 Februari Bukan Hari Valentine!

Dear Muhammad Badar Dwitama

Ini adalah tulisan
yang ku tulis dengan hati, goresannya penuh kerinduan, kalimatnya adalah syair penyerta rasa sayang. Sebenarnya ku tak pandai merangkai kata atas nama cinta, karena rasa ini sangat sederhana ketika pertama kali kita bertemu, lalu berkenalan, dekat, sama-sama punya rasa yang sama, jadian, terciptanya adegan-adegan yang tak sengaja, konflik, dan berpisah. Semuanya terekam jelas diotakku. Memorinya pun tak pernah hilang dalam ingatanku. Aku sering memainkan adegan itu dalam gerak lambat yang terkadang membuatku tersenyum-senyum dan terkadang membuatku mengeluarkan air mata.

Aku bingung harus mulai darimana karena memang tak ada awal dan tak ada akhirnya. Saat berpikir ini adalah awal tapi nyatanya akhir 'kan?. Menggali cerita lama yang masih membekas, memutar kembali adegan-adegan lama dalam otakku yang masih sangat kuingat dan rasanya sangat sulit untuk kulupakan. Di tanggal 14 Februari ini, tanggal dimana aku dan kamu menjadi kita. Ya! Kita. Kita yang sama-sama memiliki perasaan yang sama.

***

14 Februari 2009 -Flashback-


"Kau akan membawaku kemana, bee?" tanyaku pada Badar. Dengan penutup mata yang dipasangkan, ia menuntunku pelan kearah yang tidak kuketahui. "Aku akan membawamu kesuatu tempat, el. Sabar, nanti kubuka penutup matamu itu." jelas Badar.

Gelap. Aku tak bisa melihat sama sekali kala itu. Badar terus menuntunku.
Setiba ditempat yang Badar ingin tunjukkan padaku. "Taraaaaaaaaaa" teriak Badar saat membukakan penutup mata. "Bee??" Aku kaget. Sungguh, pemandangan yang indah. Aku, Badar dan teman-temanku yang lain memang sedang menikmati hari liburan di suatu puncak, di Bogor. Tapi, hanya ada aku dan Badar saat ini.

Aku dihadapkan dengan gunung yang berjejer tak beraturan, sawah-sawah hijau yang berhamparan, pepohonan yang rindang, lapangan yang luas dengan rumputnya, satu yang tak kulihat. Bunga Edelweis.

"Maaf, el. Disini hanya bukit, bukan puncak tertinggi gunung Mahameru atau puncak gunung-gunung lainnya yang terdapat tumbuhan bunga Edelweis-nya." kata Badar membelakangiku. "Hei, aku tak butuh itu, bee. Memang aku mencari bunga itu, tapi..." Terputus.

"Tapi kamu senang kan dengan kado 14 Februari yang pertama ini? Hhmm.. Aku menyayangimu, el." Badar merangkulku dibarengi dengan senyuman manisnya. "Kamu ini!" Aku mencubitnya.

Aku dan Badar duduk diatas rumput, kami menikmati lukisan Tuhan itu. Sungguh indah!

"Bee, pulang yuk? mendung nih." ajakku. "Bagus dong! Moment ini yang aku tunggu, el." dia tersenyum. Aku tak mengerti apa yang dimaksudnya. Moment yang ditunggu? moment apa? Aku bertanya-tanya.

Langit semakin gelap, rintikan kecil itu sudah menyentuh kulit kami. "Ayo berlindung, bee. Ini hujan!" Aku menariknya untuk bangkit dari tempat duduknya. Ia pun mulai bangkit, tapi ia tetap tak mau menghindar dari hujan. Ia tetap berdiri disitu. Terlihat dia sedang menadahkan tangan sambil menundukkan kepalanya. "Kau baik-baik saja 'kan, bee? apa yang kau lakukan? Ayo kita berteduh, hujan sudah mulai deras, bee." Aku menariknya lagi, dan dia menahanku untuk tetap ada disampingnya.

“Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakan awan dan Allah membentangkannya dilangit menurut yang dikehendakinya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal. Lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hambanya yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka merasakan kegembiraan. Al-quran Surat Ar-Rum ayat 48.”  Subhanallah. Suaranya terdengar lembut saat itu, ia sangat menghayati setiap rintikan hujan.

"El, kamu tau? kalau kita berdoa di saat hujan turun, -katanya- Allah bakal menjabah setiap doa yang kita panjatkan. Yuk berdoa, semoga apa yang kita semoga-kan dikabulkan sama Allah." ajaknya, lalu kami menadahkan tangan dan menundukkan kepala untuk berdoa. Dan...

 "Aamiin!" kami serempak, sambil mengusapkan tangan pada wajah. Kami tersenyum.

"Bee, makasih yaa atas kado 14 Februari ini. Aku menyukainya" kataku tersenyum. Tiba-tiba airmataku menetes dipipi, tapi Badar tak melihatnya.  Hujan menyamarkan airmataku kala itu. " Syukur kalau kau menyukainya, el. Aku pikir, kau tak menyukainya. Kado ini tak bermodalkan apapun selain doadan harap." Ia tertawa dan merangkulku lagi.

Kami membisu beberapa menit. Kami masih menikmati pemandangan indah itu, masih menghayati setiap rintikan lembut yang sudah membasahi tubuh kami.

"Hari Kita, tepat di Hari Valentine yaa, bee?" tanyaku membuka pembicaraan. Badar menatapku, lalu "Semua yang merah jambu itu tidak membuatku mengerti, el. Apa sebenarnya valentine itu? akankah valentine itu berlaku bagi kita berdua? Tapi aku rasa tidak, aku tak mengenal Valentine, dan kau pun tak perlu mengenalnya. Karena yang aku kenal hanya kau, el. Kau adalah kasih sayangku. Setiap detik, menit, hari selalu tercipta, bahkan melebihi itu." Jelasnya, ia menatapku tajam. "Kita tak perlu merayakan hari itu, selain hari jadi kita. Kita tak perlu kasih sayang di hari itu. Kita punya Kasih sayang disetiap saatnya, dan lebih istimewa daripada kasih sayang mereka di Hari Valentine. Iyaa 'kan?" Aku mengangguk dan tersenyum. "Aku menyayangimu, el." kali ini Badar memelukku. lalu mencium keningku.

Indah!
Hari ini begitu indah, tak pernah terbayangkan olehku. Aku tak menyangka, Badar akan seromantis ini dihari jadi yang pertama ini.

***

6 tahun lalu memang begitu indah, bahkan melebihi kata indah untukku, untuk kami. Cerita yang kami lewati, disetiap adegannya seperti cerita fiksi yangpenuh imajinasi.

Dan aku kembali diseret oleh adegan lama itu, aku dipaksa untuk mengingatnya lagi. Tak seindah cerita yang pertama memang, tapi aku belajar didalamnya.

14 Februari 2013 -Flashback-

Sudah 2 tahun kami menjalin hubungan jarak jauh. Aku di Jakarta dan Badar di Malaysia. Tak perlu ku jelaskan panjang lebar disini, yang jelas kami dipisahkan karena keadaan yang tidak mendukung kami berdua.

Lagu favorit kami "Westlife - Have a dream" terdengar dari handphone-ku sebagai nada dering  petanda panggilan masuk. Nomornya tidak tercantum dalam contact hp-ku tapi aku sudah tahu, bahwa yang menelponku itu adalah Badar.

2 tahun, aku dan Badar memang hanya berjumpa lewat suara. Sebulan hanya dua kali ia meneleponku dengan nomor yang selalu beganti-ganti. Ia bilang, ia sengaja tak memakai nomor tetap ketika menelponku karena alasan yang lagi-lagi tidak mendukung hubungan kami. Yaa! hanya kami dan Tuhan yang tahu -Kalian tak perlu tahu!-

"Assalamualaikum, Periku." Suaranya masih terdengar lembut. "Waalaikumsalam, Pangeran Angsaku." Jawabku. Seperti biasa, aku selalu menanyakan kabarnya dan dia pun sama. "Selamat Hari Jadi Kita yang kesekian tahunnya yaa, sayang. Aku mencintaimu. Selalu, el." Badar mengucapkan hari jadi kami yang ke 3 tahunnya. kali ini, beda. Sungguh beda. Setiap tahunnya -sebelum kami dipisahkan keadaan-, kami merayakannya dibawah jutaan rintikan hujan. Selalu. Tapi dua tahun terakhir ini, kami hanya saling bertukar ucapan dan doa lewat telepon.

"Aku merindukanmu, bee." Suaraku lirih. "Kau kira, aku tidak merindukanmu, el? Aku juga merindukanmu, bahkan melebihi rindumu padaku, el." katanya dengan nada meledek. "Aku sedang tak lagi becanda, bee! Aku merasa kehilanganmu, sudah dua tahun yang lalu aku pendam rasa pahit ini karenamu." suaraku mulai keras. "Kau pikir aku lagi sedang becanda? Tidak. Untuk apa kau memendam itu semua? Sudah tahu pahit, masih saja kau telan." katanya.

Aku merasakan hal yang mengganjal dalam hati ini, tapi aku tak mungkin bisa menjelaskan lebih detail tentang apa yang aku rasakan saat ini pada Badar. Aku tak ingin Badar mencemaskanku ketika ia tahu hatiku sedang tidak baik.

"Tidak ada kehilangan yang tak tergantikan, el. Allah selalu mempersiapkan hal yang lebih baik dari ini untuk merea yang selalu berjuang dan berharap padaNya. Kau tak mungkin lupa dengan janji Allah, bukan?" tanyanya.

"... Dan kami lepaskan bebanmu, maka sesungguhnya sesudah kesulitan akan ada kemudahan. Surat Al-Insyiraah, Ayat 2 dan 5" aku menjawab sambil menghelakan nafasku. Sedikit tenang, seketika terasa lapang dadaku.

"Sepertinya, dua tahun kutinggal kau semakin pintar, el." katanya meledekku. "Bee......" gumamku dengan nada manja. "Bee... Aku pernah mendengar kata-kata ini; Kita kadang harus mengalami kehilangan, untuk menyadari seberapa jauh kita salah arah. Salah arah seperti apa yaa, bee yang mereka maksud?" tanyaku tak mengerti. "Sudahlah, tak perlu kau memusingkan kata-kata itu. Ingat, salah arah terkadang bisa buat kita kembali lagi ke jalan yang benar loh. Intinya, kehilangan dapat membuat kita kembali." jelasnya, aku mulai mengerti. "Walaupun suatu saat kita tidak tahu, dimana dan kapan kita kembali dipersatukan. Kalau tidak di dunia, yaa di akhirat. Simple." lanjutnya lagi.

Kami, lagi-lagi terdiam. Aku mendengar suara rintikan hujan disana, sepertinya hujannya sangat deras. "Aamiin!" suara pelan Badar terdengar oleh telingaku. Badar memang selalu berdoa dikala hujan seperti ini, aku sudah tidak merasa aneh lagi kalau ketika hujan tiba-tiba ia tak bersuara. Aku sudah tahu, pasti ia sedang berbincang-bincang dengan Allah lewat doa. Ia selalu meluangkan waktunya -salah satunya ketika hujan- untuk berkomunikasi dengan Sang Penciptanya. Aku kagum akan sikapnya.

***



14 Februari 2013 adalah 14 Februari yang terakhir kalinya kita berbalas ucapan dan berbalas doa. Kau tak mugkin lupa dengan cerita yang kita ciptakan tanpa sengaja itu 'kan, bee? Tak perlu kau jawab. Aku sudah tahu apa yang akan kau jawab, kalau saja kau masih ada di dunia ini, kalau saja aku masih bisa mendengarkan suaramu langsung maupun via telepon. Kau pasti akan menjawab "Dasar bodoh! mana mungkin aku bisa melupakan cerita kita?". Aku hafal apa yang sering kau ucapkan, bee.


Sejak kau pergi, kenangan itu menjadi temanku saat menikmati hujan dan berdoa di sela-selanya. Hujan, adalah cara terbaik merindukanmu dan kisah kita. Berteriak ditengah kumpulan air langit, lalu berharap salam dan doaku untukmu tersampaikan secara perlahan. Biarkan kisah kita berjeda, toh kita masih bisa bertemu dalam doa dan berusaha dengan jalan kita masing-masing. Aku disini dan kau disana.

Untuk 14 Februari yang ke 6 tahun ini. maaf hanya doa sebagai kado yang bisa ku persembahkan untukmu.

 Ya Allah…
Dimanakah salahku wahai Tuhanku? Tunjukkanlah dimana khiilapku. Jangan Engkau biarkan aku begini tanpa diketahui apakah kesalahan yang telah aku lakukan terhadapnya sehingga begitu cepatnya ia meninggalkan aku.

            Ya Allah…
            Ampunilah aku dan orang yang aku sayangi itu. Masukkanlah kami kedalam rahmatMu dan Engkau adalah Tuhan yang maha penyayang.

            Ya Allah…
       Aku bermohon kepadaMu tingkat yang tinggi di syurga untuknya. Ya Allah perkenankanlah permohonanku.

            Ya Allah… 
          Sungguhnya Engkau mengetahui apa yang aku rahsiakan dan apa yang aku perlihatkan, maka ampunkanlah kealpaan dan kelalaiannya. Dan Engkau mengetahui segala hajatnya, maka kabulkanlah permohonannya.

            Ya Allah…
            Apa saja yang Engkau jauhkan darinya dari hal-hal yang dia cintai, jadikanlah hal itu sebagai penguat untuknya mencintai apa yang Engkau cintai dan jadikanlah cintanya kepadaMu sebagaimana Engkau mencintai.

            Ya Allah…
            Tiada Tuhan selain Engkau. Hanya kepadaMu aku bertawakal. Dan Engkaulah Tuhan yang memiliki arasy yang agung.
 Aamiin :')

Aku merindukanmu, Bee. Selalu.

Selasa, 03 Februari 2015

Sesederhana itukah?

Apa yang kau tahu tentang hujan?

Hujan adalah titik-titik air di udara atau awan yang sudah terlalu berat karena kandungan airnya sudah sangat banyak, sehingga akan jatuh kembali ke permukaan bumi sebagai hujan (presipitasi).

Sesederhana itukah kau mengartikan hujan?

Lalu mengapa hujan begitu berarti bagiku?
Dia selalu menemaniku dikala sedih. Memang akhir-akhir ini banyak sekali kesedihan yang  datang menghampiriku. Hujan yang selalu menyapu setiap kesedihanku, seakan ia berkata : "Aku akan menghapus air matamu, sayang. Kau tak pantas menangisi Dia yang pergi dan menjauhimu begitu saja. Bangkitlah, sayang. Ada aku disini."

Aku memang sudah lama bersahabat dengan hujan.
Dia selalu ada disaat aku membutuhkan dinginnya.
Dia selalu ada disaat aku memburtuhkan ketenangannya.
Dia menjelma menjadi sahabat. Bahkan melebihimu!

Aku masih ingat kejadian beberapa minggu yang lalu. Kau melihatku menangis, dan kau meminta maaf padaku. Sebenarnya, bagiku tak perlu untaian kata maaf yang terangkai dari bibirmu. Tak perlu juga barisan kalimat atas nama apapun untuk bercerita tentang alasan mengapa kita tak bisa bersatu.

Aku hanya ingin, kita bersama meski hanya ada ikatan pertemanan diantara kita. Kupikir, kau sudah terlalu pintar akan hal ini. Jadi, tolong mengertilah tentang apa yang aku rasakan. Mengertilah tentang apa yang aku inginkan; menjadi Pelangi baruku yang mengatasnamakan pertemanan. Apakah kau bersedia?