Hai Nabi,
katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuan dan istri-istri orang
Mukmin agar mengulurkan atas diri mereka jilbab-jilbab mereka. Yang demikian
itu menjadikan mereka. Lebih mudah untuk dikenal (sebagai wanita
Muslimah/wanita merdeka/orang baik-baik) sehingga mereka tidak diganggu. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS A1-Ahzab [33]: 59)
Sebelumnya,
aku mengucapkan selamat pada diriku sendiri, karena telah istiqomah memakai
hijab selama kurang lebih empat tahun lamanya. Semoga dengan hijabnya, aku lebih
dan lebih bisa memperbaiki diri menuju kesempurnaanNya.
Nah,
kali ini aku akan bercerita tentang proses aku memutuskan untuk berhijab. Tepat
empat tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di bangku sekolah kejuruan. Aku belum
menutup auratku dengan hijab.
Saat
bulan Ramadhan, sekolahku menetapkan aturan; selama bulan Ramadhan, diwajibkan
untuk perempuan mengenakan hijab. Aku terpaksa mengenakannya. Ya, aku memang
terpaksa melakukan hal itu. Karena aku pikir, kalau aku memakai jilbab,
teman-teman dekatku bilang sok alim. Pun aku sempat menghina dalam hati kepada
mereka yang berjilbab setengah-setengah. Mengenakan jilbab tetapi terlihat
leher dan dada. Dan jujur, itu sangat menyiksaku. Sudah tidak suka dengan kain
persegi yang tipis berkibar-kibar itu Jelas-jelas akan menyusahkan ruang
gerakku. Sedikit-sedikit lepas jilbab. Gerah. Rambut rasanya gatal. Panas.
Menyedihkan,
sampai segitunya aku dengan jilbab.
Hingga
suatu hari, aku mengikuti kegiatan rohani islam (rohis) di sekolah yang di
adakan setiap hari jumat setelah jam pelajaran selesai. Aku ingat sekali,
pembicara saat itu membahas tentang virus merah jambu dan hijab yang diwajibkan
untuk kaum hawa. Pembicara itu bilang; “Ketika wanita memamerkan auratnya,
meski pakaian yang ia kenakan sopan (tapi tak memakai jilbab) itu berarti ia
adalah sumber dosa. Dosa bagi setiap laki-laki yang melihatnya. Itulah sebab
banyak laki-laki melakukan zina mata.” Katanya.
“Aku
sering digoda laki-laki genit yang kurang ajar ketika aku lewat di depan
mereka, padahal pakaian yang kupakai tak terbuka; aku masih mengenakan pakaian
lengan panjang dan celana panjang.” Aku bersuara.
“Nah,
dengan berjilbab lah, kita bisa menjaga diri kita dari rasa tidak aman. Kalian pasti
pernah merasakan hal yang sama seperti yang diceritakan Lidya; ketika kamu
lewat di depan segerombolan laki-laki (baik yang kamu kenal, maupun tidak)
dalam keadaan kamu tidak menutup aurat, ia akan menggoda ‘ssttt.. cewek boleh
kenalan gak?’ bahkan sering dibarengi dengan colekan atau sentuhan nakalnya. lain
halnya ketika kita memakai jilbab, mereka menggoda dengan cara sopan;
mengucapkan salam ‘Assalamualaikum, cantik, mau kemana?’, seperti itu, kan?.”
Kamipun menganggukan kepala, tanda setuju dengan apa yang diceritakan kakak
pembicara tersebut. Dan memang kejadian itu sering terjadi.
Lagi,
pembicara itu menjelaskan hadits mengenai hijab; “Wahai anakku Fatimah! Adapun
perempuan-perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam
Neraka adalah mereka itu di dunia tidak mahu menutup rambutnya daripada dilihat
oleh lelaki yang bukan mahramnya.”
Selangkah
anak perempuan keluar dari rumah tanpa menutup aurat, maka selangkah juga
ayahnya itu hampir ke neraka. Selangkah seorang isteri keluar rumah tanpa
menutup aurat, maka selangkah juga suaminya itu hampir ke neraka. -H.r Bukhari
dan Muslim-“
Deg!
Istighfar terus mengalir dari bibirku. Aku yang berbuat dosa, mereka ikut di
masukan ke dalam api neraka? Egois sekali diri ini. Mungkin dari situ, Allah membukakan
pintu hidayah untukku. Aku mulai berniat untuk berhijab.
Hari
demi hari selama bulan Ramadhan, aku melakukan aktivitas dengan jilbabku di
sekolah. Aku menemukan kenyamanan, ada rasa tak ingin melepaskannya. Aku ingin
terus bersamanya.
Akhirnya
pelan-pelan kumantapkan hati. Semakin mencari-cari hukum tentang berjilbab bagi
wanita. Baca sana baca sini. Memahami ini dan itu tentang agama. Semakin aku
tahu, semakin terasa ngeri hati ini. Sungguh, dalam hati aku bertanya, kemana
saja kau selama ini, Lid?! Ini agamamu, mengapa hal wajib yang mendasar seperti
ini saja selama delapan belas tahun kau tidak mengetahuinya! Hellooo~
Lagi
lagi istighfar mengalir deras dari bibirku.
Aku
pernah membaca salah satu postingan dari fanpage di facebook. Isinya sangat menginspirasi sekali, benar-benar menyentuh
perjuangan para wanita-wanita muslim dalam mempertahankan jilbab mereka. Hatiku
tersentuh dan bergetar hebat! “Hei, lihat perjuangan dan semangat itu. Bahkan
ujianmu ini belum seberapa jika dibanding dengan mereka. Ayo berdiri dan
kuatkan hatimu. Ini wajib, penyempurna agamamu. Maka berjuanglah!” Kurang lebih
isi pesannya seperti itu.
Aku
semakin ingin memantapkan hati untuk berjilbab. Kadang, aku masih memikirkan
bagaimana dengan kegiatanku di luar sekolah yang menurutku tak pantas dilakukan
untuk seorang perempuan yang berjilbab seperti ini; dance. Yaa! Aku punya kegiatan ngedance di luar sekolah. Mana mungkin aku menari dengan balutan kain
panjang di sekujur tubuhku? Sedangkan aku tak ingin meninggalkan kegiatan
tersebut. Aku pusing memikirkan jalan keluarnya.
Lalu
suatu hari, aku bertemu kak Ricky. Ia kakak kelasku yang sudah aku anggap
sebagai kakak kandungku sendiri, sekaligus yang mengajariku menari. Aku
memintainya pendapat; “Bagaimana aku bisa terus belajar menari dengan hijabku
ini, kak? Tubuhku tertutup tapi menari-nari seakan memamerkan tubuh dengan
gerakan dance yang sudah aku pelajari
meski tidak terlalu eksotis, tapi aku rasa itu kurang etis aja gitu, kak” “Kamu
masih bisa menari, sayang. Dengan catatan, kamu harus memantaskan gerakan
dengan hijabmu. Tidak semua tarian itu eksotis dan terkesan seksi, banyak
tarian dan gerakannya yang masih pantas kamu pelajari.” Aku diam. “Kamu tenang
aja, jangan ragu melakukan hal baik, hanya karena sebuah hobimu. Itu sifat
syetan, sayang. Kamu manusia kan, bukan syetan?” Dia tertawa geli. Aku hanya
tersenyum dan memahami apa yang dikatakannya. Dan, Aku rasa ada benarnya juga
apa yang di bilang kak Ricky. Aku semakin semangat.
Tepat
di hari turunnya Al Qur’an, 17 Ramadhan. Aku sudah mulai memakai jilbab dengan
kain panjang yang meutupi seluruh tubuhku, ketika aku keluar rumah, kemana dan
sedekat apapun itu jaraknya. Kalian tahu? Aku merasakan kalau jilbab itu
benar-benar mampu menahan semua keburukan yang keluar dari jiwa kita.
Kebencian, kemarahan, dan emosi yang dulu meluap-luap, sudah mampu kutata
dengan baik. Karena apa? Karena pengaruh jilbab. Ingat dengan semua
larangan-Nya. Rasa panas, gerah atau gatal di rambut tidak kurasakan lagi.
Subhanallah, inilah yang namanya niat. Kekuatan yang kurasakan karena hangatnya
agama yang menyejukanku benar-benar menenangkan! Aku sudah memulai mengajak ibu
dan adikku untuk memakai jilbab, dan mereka mengikuti saranku. Ah, aku bahagia.
Memang, belum sempurna kemampuanku
memahami kembali agama yang dulu pernah kutinggalkan. Perjuangan dan perjalanan
hijabku pun belum berlabuh pada kata selesai. Dan aku sadar, hijabku belum
sempurna, tapi izinkan aku untuk berproses menuju kesempurnaan. Rangkul aku
dengan nasehat, jangan pukul aku dengan hujatan ketika akhlakku melakukan
kesalahan. Aku masih perlu banyak belajar dan belajar. Menambal semua kekurangan
yang tertinggal jauh. Tetapi aku yakin, Allah, pasti menjagaku.
Aamiin..
Jadi,
kapan kalian berproses menuju kesempurnaanNya sepertiku, Girls? J